Tuesday, 12 February 2008
2006 The City Hostel of Amsterdam
Barndesteeg 21
1012 BV Amsterdam
The Netherlands
Phone: +31 (0)20 62 53 230
Fax: +31 (0)20 62 32 282
Email: City@shelter.nl
Aku pandangi saja makanan yang ada di depanku. Isinya dua tangkup roti, selai, telor, yogurt, segelas air putih. Makanan apa ini, batinku dalam hati. Aku kangen nasi pecel di depan toko Suzana jalan Kertajaya. Nasi pecel ditambah peyek teri dan telur asin. Wuuah yammi.
Di luar gerimis runtuh pelan-pelan. Bunga-bunga di patio terlihat segar. Kursi kayu di taman basah oleh hujan. Angin kanal berhembus menusuk tulang. Aku rapatkan kerah jaketku. Mana tahan dengan cuaca seperti ini. Di Surabaya matahari ganas menerpa penghuninya. Akan tetapi di sini, matahari jual mahal untuk menampakkan diri. Gemiricik air dari kolam di patio menambah suasana dingin. Sambil makan pelan-pelan, otakku penuh dengan rencana aktivitas hari ini. Sewa sepeda, keliling kota dengan sepeda, Anne Huist museum, berfoto ria di Daam square. Oh senangnya. Tetapi kalau melihat keluar, sepet juga melihat cuaca yang tidak bersahabat.
Di depan meja duduk seorang lelaki kurang lebih berumur 23 tahun. Rambut ikal, kulit gelap khas wajah asia tenggara. Sedang membaca dan kalau ketemu pandang tersenyum. Dibelakang komputer terlihat wanita setengah baya sedang berinternet ria. Namanya Brinnet. Kemaren aku sudah berkenalan. Seorang penulis kondang dari Belgia yang sedang berlibur di sini. Sedangkan di pojok terlihat sepasang muda-mudi wajah eropa sedang sarapan sambil baca majalah. Ternyata memang masih jam 7 pagi, jadi belum banyak yang sarapan pagi ini.
Lelaki berambut ikal terlihat berjalan ke mejaku.
Good morning, sapa si ikal.
Morning, jawabku.
May I sit in here.
Sure.
I am Christ, kata si ikal sambil menyodorkan tangannya.
I am Sasi.
I am a volunteer from youth association. I would like to give you some question. Would you like to answer?
What’s your topic about?
About live. We concern about life style of youth.
Am I youth? Tanyaku sambil tersenyum.
Sure. You are youth but you are almost growth adult, jawab Christ sambil tersenyum.
Where do you come from?
Indonesia.
Indonesia? Oh, it’s interesting place. Dari mana?
Kamu bisa berbahasa Indonesia?
Ya, kakek saya dari Indonesia. Dari Ambon. Kalau kamu?
Dari Surabaya. Kamu tahu dimana Surabaya?
I would like to go to Indonesia some time. Aku tidak tahu dimana Surabaya.
Surabaya is capital city of east java province.
I could imagine where is this place.
Uh, senangnya. Setelah dua hari tidak berbahasa Indonesia. Ternyata menyenangkan bertemu dengan orang yang dapat berbahasa Indonesia. I love Indonesia. I always love you forever.
Kita berbincang panjang lebar tentang keagamaan dan situasi politik. Lebih tepatnya Christ banyak menginterograsiku tentang pandangan hidup dan mengapa memilih agama tersebut dalam hidupku.
Setelah kembali lagi di Indonesia, aku baru saja menyadari kalau telah terjadi eksodus warga Ambon karena dituduh oleh pemerintah sebagai anggota RMS. Akhirnya aku tahu mengapa Christ begitu berhati-hati berbicara setelah tahu aku datang dari Indonesia.
The Shelter City Hostel of Amsterdam
April 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment