Monday 14 January 2008

DAPATKAH MEREKA MENCAPAINYA SEORANG DIRI?

Dibuat sebagai tugas mata kuliah Sarana Prasarana (transportasi)

PENDAHULUAN

Awal Mei setahun lalu di tengah dinginnya hembusan angin lautan Baltik, saya terkesima dengan pemandangan di depan. Seorang wanita berusia sekitar 50 tahun sedang duduk di kursi roda berkeliling di jalanan kota Lund seorang diri. Anggota badan yang berfungsi sepertinya hanya tangan saja yang digunakan untuk menekan tombol penggerak kursi roda. Di leher terlihat penyangga leher untuk menopang leher dan kepalanya. Posisi kepala tidak simetris. Walaupun wajahnya terlihat tidak berekspresi tetapi matanya memancarkan semangat dari dalam serta dia terlihat sangat menikmati kegiatannya. Kekurangan fisik yang sedang menderanya tidak menghalangi dirinya untuk menikmati suasana di kota tempat tinggalnya. Dia dapat mengakses tempat dan ruang publik secara mandiri.

Itu adalah gambaran umum bagaimana mudahnya para lansia dan penyandang cacat untuk mengakses fasilitas publik secara mandiri di negara maju. Hal ini dipicu oleh keadaan dimana mereka harus melakukan sendiri segala pemenuhan kebutuhan karena sebagian besar para lansia dan penyandang cacat tinggal sendiri atau hanya dengan pasangannya saja. Menggaji pembantu atau perawat untuk menemani beraktivitas, diperlukan biaya tinggi dikarenakan gaji tenaga manusia sangat mahal.

Terbayang di benak, apa yang akan terjadi apabila mengalami sendiri seperti itu di Indonesia. Yaitu hidup sendiri pada saat tua dan harus melanjutkan hidup pasca mengalami stroke. Maka sangat sulit bagiku untuk mengakses fasilitas publik secara mandiri. Hal ini disebabkan infrastruktur bagi para penduduk berkebutuhan khusus belum tersedia di Indonesia. Sebuah pemikiran yang memilukan untuk hidup menua dan menjadi cacat di Indonesia.

Penduduk berkebutuhan khusus yang dimaksud disini adalah penduduk berusia lanjut (manula) dan penyandang cacat (difable). Manula sudah mengalami penurunan kualitas hidup baik secara ekonomi maupun sosial. Sehingga terkadang menjadi beban bagi penduduk usia produktif untuk menopang kehidupannya apabila tidak mandiri. Hal inilah yang terjadi pada manula di negara berkembang dimana tingkat pendidikan masih rendah. Sedangkan di negara maju, para manula dapat memenuhi kebutuhannya sendiri baik secara sosial dan ekonomi. Apabila sudah tidak dapat memenuhi kebutuhannya, maka negara akan mengambil alih untuk merawatnya. Mereka akan dirawat di panti jompo yang sangat nyaman dan aman bagi manula untuk menjalani sisa hidupnya tanpa ada rasa tersisih dan terbuang.

Penyandang cacat yang dimaksud disini khususnya adalah tuna netra (buta) dan tuna grahita (keterbatasan anggota tubuh). Mereka menggunakan alat bantu diantaranya adalah tongkat, kursi roda, pendengaran yang lebih tajam, dan yang lainnya dalam mengakses tempat publik.

Kebutuhan khusus bagi manula dan penyandang cacat diantaranya adalah bagaimana mereka dapat mengakses segala pelayanan yang dibutuhkan secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana mereka dapat berbelanja di pasar maupun supermarket, ke dokter, dan tempat publik baik dengan berjalan maupun memakai kendaraan umum secara mandiri. Diperlukan penunjuk arah dan fasilitas khusus untuk mencapai dan memenuhi akan kebutuhan publik agar mereka dapat mandiri.


KONDISI EKSISTING DI INDONESIA

Peraturan Pemerintah RI No 34 tahun 2006 tentang Jalan dijelaskan bahwa fungsi jalan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mengusahakan biaya umum perjalanan menjadi serendah-rendahnya.

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No KM 65 tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, diatur tentang standart dan ketentuan tentang halte, kendaraan umum, parkir, fasilitas parkir pada badan jalan, pemakai jalan, tempat istirahat dan trotoar. Namun sangat disayangkan, semua hal itu belum spesifik mengatur tentang keberadaan dan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat dan manula.

Penduduk berkebutuhan khusus juga merupakan mahkluk sosial yang memerlukan sosialisasi. Kondisi aksesibilitas di Indonesia tidak memungkinkan bagi mereka untuk mandiri karena tidak tersedianya prasarana dasar. Misalnya seorang pemakai kursi roda, baik manula atau karena cacat tubuh, akan pergi ke luar kota Surabaya sedangkan dia tidak mempunyai kendaraan bermotor. Maka dia memerlukan orang lain untuk melalui proses tersebut. Mulai dari keluar dari rumah, menuju ke stasiun/terminal, naik bus/kereta api, turun setelah sampai tujuan, dan sampai masuk ke tujuannya. Hal ini disebabkan oleh desain kendaraan publik dan prasarana publik yang tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan mereka. Mereka memerlukan halte dan trotoar yang hampir rata dengan jalan, kendaraan publik yang bisa diset ketinggiannya, sehingga pintu masuk dan trotoar sejajar, tempat duduk khusus di dalam bis atau kereta api yang mudah dicapai dan lain-lain.

Pembangunan gedung di Indonesia harus mengacu kepada UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang didetailkan dalam peraturan di bawahnya. Maksud dari peraturan pembangunan gedung tersebut adalah agar pembangunan tersebut sesuai dengan asas manfaat, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dan lingkungannya bagi masyarakat. Di dalam peraturan ini juga belum ada tuntutan untuk menyediakan fasilitas aksesibilitas bagi manula dan difable. Sehingga sebagian gedung yang dibangun di Indonesia belum mengakomodasi kebutuhan tersebut. Bangunan di ITS pun belum memenuhi kebutuhan tersebut. Bagaimana apabila mahasiswa yang berkursi roda akan berkuliah di sini? Maka dia akan memerlukan orang lain untuk mencapai lantai dua dan tiga. Bahkan lantai satupun dia masih memerlukan orang lain.


PEMBELAJARAN DARI LUAR

Mengapa penyandang cacat dan manula di negara maju dapat mandiri? Karena prasarana dasar dan transportasi publik mengakomodasi kebutuhan yang diperlukannya. Dibawah ini adalah contoh desain fasilitas publik yang sudah mengakomodasi kebutuhan tersebut. Desain bis di Barcelona, Spanyol adalah tinggi, dimana tempat penumpang di atas sedangkan di bawah adalah bagasi. Maka pemakai kursi roda naik dan keluar dari bis menggunakan tangga berjalan secara hidrolis. Seperti gambar (1) dan (2), dimana diperlihatkan cara pemakai kursi roda keluar dari bis.

Gambar 1. Fasilitas bus (tangga berjalan) di Barcelona Spanyol, untuk menurunkan penumpang penyandang cacat
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007



Gambar 2. Penyandang cacat dapat turun dari bus seorang diri dengan bantuan tangga berjalan
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007

Penumpang berkebutuhan khusus yang naik bis di Lund, Swedia (gambar 3 dan 4)terletak di bagian tengah bis tersebut. Bis tersebut mempunyai 3 pintu. Pintu tengah khusus digunakan bagi penumpang manula, cacat, serta orang tua yang membawa anak memakai troli untuk naik dan turun. Dibagian ini juga disediakan pengait bagi troli tersebut. Bagian pintu bis tersebut dapat dimiringkan ketinggiannya sehingga hampir sejajar dengan trotoar.

Gambar 3. Tempat duduk khusus untuk anak-anak, orang tua dan cacat.
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007

Gambar 4. Ruang untuk penumpang berkebutuhan khusus berada di tengah bis yang mudah pencapaiannya
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007

Desain prasarana dasar perkotaan juga sangat berpengaruh besar terhadap aksesibilitas bagi para cacat dan manula. Seperti gambar (5) dan (6)memperlihatkan bagaimana ketinggian trotoar yang hampir sama dengan badan jalan. Sehingga ramp yang diperlukan untuk mencapainya, tidak terlalu terjal. Hal ini sangat memudahkan pencapaiannya.

Gambar 5. Jarak antara tinggi trotoar dan jalan raya yang tidak membahayakan bagi penyandang cacat di pusat kota Lund
Sumber: Andarita Rolalisasi, 2006

Gambar 6. Desain akses manusia dan kendaraan yang mudah diakses oleh penyandang cacat secara mandiri di dalam area Universitas Lund
Sumber: Andarita Rolalisasi, 2006

Untuk penderita buta, memerlukan penanda khusus yang dapat dirasakan oleh indera perasa mereka. Gambar (7) memperlihatkan penanda di trotoar yang akan menggiring ke tempat tujuan. Sedangkan gambar (8) memperlihatkan batas daerah aman dan daerah bahaya yang harus dihindari. Tanda ini menunjukkan ruang yang dapat diakses oleh mereka agar aman di stasiun kereta api.

Gambar 7. Penanda arah untuk pejalan kaki buta yang ada di trotoar Osaka Kyoto, Jepang
Sumber: Wahyu Setiawan, 2000

Gambar 8. Batas daerah berbahaya di stasiun kereta api Bangkok yang dapat diakses oleh tuna netra
Sumber: Andarita Rolalisasi, 2007

Yang tidak kalah pentingnya adalah juga aksesibilitas terhadap bangunan. Maka diperlukan ramp yang kemiringannya sangat aman bagi mereka seperti yang terlihat di gambar (9) dan (10). Ini harus disediakan baik di dalam maupun di luar bangunan.



Gambar 9. Akses masuk bangunan publik (gereja) bagi penyandang cacat dan bukan di pusat Kota Lund
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007


Gambar 10. Kemudahan bagi penyandang cacat di dalam perpusatakaan Universitas Lund
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007


KESIMPULAN

Penyediaan fasilitas agar dapat diakses oleh penduduk berkebutuhan khusus, perlu melibatkan semua stakeholder yang ada, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hal dimaksudkan agar seluruh stakeholder menyiapkan prasarana dasar dan transportasi tersebut. Pertama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah menyediakan regulasi yang mengatur tentang transportasi dan bangunan publik yang dapat diakses oleh mereka secara mandiri. Di dalamnya mengatur tentang penyediaan kemudahan akses. Pemerintah juga harus mempunyai desain baru yang sudah accessible untuk pembangunan new public facilities, misalnya desain halte, parkir, fasilitas parkir pada badan jalan, tempat istirahat dan trotoar.

Kedua yang harus dilaksanakan pihak swasta sebagai penyedia fasilitas, adalah harus mendesain ulang public transport dan sarana lainnya. Seperti misalnya desain bis dan kereta api, peningkatan kemampuan sumber daya manusia sopir/kernet untuk mengoperasikannya, dan lain-lain.

Sedangkan masyarakat harus mendidik dirinya sendiri dan keluarganya yang berkebutuhan khusus agar menjadi lebih mandiri dalam mengakses fasilitas publik. Ketergantungan penduduk berkebutuhan khusus juga berasal dari cara mendidik di dalam keluarganya.


DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Perhubungan No KM 65 tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

2 comments:

asmara3diva said...

memang betul sarana bagi penyandang cacat tidak diperhatikan.Saya korbannya, ketika ke Surabaya justru dipalak petugas, saya naik kereta

Unknown said...

Thanks for your comment.
Post itu saya tulis setelah mengamati bagaimana mudahnya para manula dan difabel untuk bergerak dg bebas dalam menjelajah kotanya sendiri dg alat bantu geraknya... semoga infrastruktur di ind dapat seperti itu..