Tuesday 25 November 2008

Bencana masyarakat nelayan Sukolilo

Permukiman nelayan Sukolilo terletak diantara Pantai Ria Kenjeran dan Kenjeran Park. Berdasarkan data di Kelurahan Sukolilo, hampir seluruh penduduknya menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Baik sebagai nelayan pencari ikan, nelayan pencari kerang, buruh tambat, pengusaha hasil laut, pengrajin dari hasil laut, maupun pedagang hasil laut.
Sejak satu tahun lalu omset mereka turun hampir 100%. Jadi hampir tidak ada yang dapat mereka hasilkan dari kegiatan melaut. Kerang, tiram, ikan, udang, dan lain-lain semuanya tidak dapat berkembang biak. Biasanya mereka mengalami paceklik saat angin barat datang. Angin barat (Moonson Asia) biasanya membawa hujan lebat dan kecepatan angin tinggi.

Akan tetapi sekarang sepanjang tahun adalah musim paceklik bagi nelayan di kelurahan Sukolilo. Hal ini dikarenakan dibuangnya lumpur panas Porong ke Sungai Porong yang mengalir menuju Selat Madura. Hal ini memutuskan mata rantai kehidupan laut di sekitar selat Madura. Berdasarkan penelitian, salah satu unsur yang ada dalam lumpur tersebut adalah minyak dan tanah liat. Mungkin inilah yang memutuskan mata rantai tersebut menurut para nelayan.
Dulu dengan gampang mereka menggali lumpur di sekitar mereka ntuk mendapatkan terung. Tapi sekarang tidak ada satu terungpun dibalik lumpur itu. Nelayan Sukolilo membutuhkan kapal yang lebih besar agar dapat menangkap ikan yang lebih jauh agar mendapatkan hasil yang mencukupi untuk kehidupan mereka.
Walaupun lumpur panas Porong berada sekitar 100 km dari Sukolilo, akan tetapi masyarakat nelayan di Sukolilo pun merasakan pengaruhnya yang dasyat juga.

Tuesday 24 June 2008

MY BELOVED DAUGHTER



TIKA ARINING WARDHANI. Terlepas dia adalah anakku sendiri, tapi dia adalah sahabat yang paling mengerti diriku. Semua hal yang ada pada diriku adalah dia.

Aku yang begitu cenderung maskulin, tapi aku punya anak yang feminin. Walaupun karena keadaan. Dia tidak bisa pake celana karena perutnya gendut. Jadi kalau pake celana tidak bebas bergerak. Pakai baju ketat tidak nyaman, jadi bajunya model daster tapi yang manis. Urusan rambut, pernah suatu saat aku potong pendek rambutnya karena dia tidak mau merapikan rambutnya. Trus setelah melihat hasilnya, dia bilang jangan potong lagi karena seperti laki-laki. Jadi rambut kriwulnya tidak pernah pendek lagi.

Saat anakku usia 4 tahun dia sudah mau lulus TK. Jadi waktunya untuk mencari SD. Dia maunya sekolah Islam di Pucang. Waktu aku tanya alasannya jawabannya sangat sederhana.
Teman TK nya yang paling terkenal, ganteng, dan pinter, akan sekolah disitu. Eki nanti jadi pacarku lho ma. Ha .... kaget tenan aku. Memangnya sekarang sudah pacaran, tanyaku. Belum ma. Nanti kalau sudah besar, kata Tika. Tapi jangan bilang papa ya, nanti aku dimarahi, tambahnya. Wow... aku takjub dengan perbendaharaan katanya dan daya nalarnya. 4 tahun gitu lho.


Saat itu aku masih studi S1. Dia mempunyai jadwal rutin yang sangat teratur. Kapan sekolah, kapan main, kapan tidur, kapan ngaji, kapan les dan lain-lain sudah ada jadwalnya dan dipenuhi. Tidak ada masalah bagi diriku untuk selesaiin kuliah. Tetapi memang tidak bisa cepat. Gimana mau cepat, mau ambil sks normal (18 sks) aja akhir semester sebelum ujian aku sudah terbaring di rumah sakit. Berat banget tugas kuliah di Arsitektur itu. Sisi pengertian anakku diantaranya yaitu tidak pernah menggangguku saat banyak berkas tugas berserakan di tempat belajarku. Teman-temannya yang akan main di rumah pasti diajak ke tempat yang kosong. Jangan ganggu mamaku. Biar cepet lulus biar nanti aku sering diajak main. how.. so sweet...

Tetapi takdir berkata lain. Beliau datang dan pergi di saat aku masih di S1. Dia datang waktu akhir semester 1. Saat itu dosen killer banget dan aku tidak berani bolos. Akhirnya minta ijin untuk pulang dulu. Jam 12 pulang, jam 3 sore melahirkan di RS Dr Soetomo.
Beliau pergi ketika aku kuliah kurang 2 semester saat aku mengambil mata kuliah seminar. Tugas mingguan yang harusnya dikumpulkan hari Jumat minggu depan, sudah bisa aku selesaikan hari Jumat minggu ini. Langsung kutitipkan ke temanku untuk dikumpulkan. Ternyata setelah pulang aku mendapati panas badan anakku makin tinggi. Hari Senin masa puncak sakitnya, dan Selasa jam 6 pagi 2 April 1996 beliau pergi untuk selama-lamanya.

Separo hidupku terhempas keras di tanah. Membuatku pingsan selama 9 tahun. I love you so much my beloved daughter. You are still living in my heart

Tak Ada Yang Abadi
oleh Peterpan

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu

Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang telah memudar

Reff:
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

Biarkan aku bernafas sejenak
Sebelum hilang

Tak kan selamanya tanganku mendekapmu
Tak kan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti

Back to Reff

Thursday 19 June 2008

BULE

Di Indonesia, bule dikonotasikan sebagai pendatang berkulit putih. Semua bule juga dianggap sebagai berasal dari Belanda. Jadi mereka disebut Landa.
Sejarah itulah yang kuceritakan kepada temanku asli belanda. Dia dipanggil bule, sudowo (soale tingginya gak ketulungan). Kalau lagi jalan sama dia dan ada yang panggil dia bule, dia cuma senyum-senyum saja.
Setelah jadi internship selama 6 bulan pada 2 tahun lalu, sekarang dia kerja di Holand Red Cross yang bekerjasama dengan Indonesia Red Cross. Hampir sebulan lalu ketemu lagi di lab setelah aku ujian GIS. Walah-walah... dia malah bisa omong jawa. Gilaaa... aku aja belum bisa bahasa Belanda sebagai bahasa nenek moyang, bahasa English durung katam, ehhhhh.... dia sudah occupation dalam bahasa jawa. wah repot... dasar penjajah ... upppsss aku khan cucune penjajah juga.
Waktu kita ke Bandung, dia ngerti banget tentang kebiasaan pribumi. Jadi kalau kita sedang menawar taksi, dia tidak menampakkan diri dulu. Soalnya nanti jadi mahal. dasar BAndung. Susah cari mass transportation.

Friday 6 June 2008

ISENG

Di tengah banyak hal yang harus diselesaikan dalam waktu dekat ini, aku kangen untuk nyambangin blog ku. Aku ingin menulis sesuatu yang sangat ringan-ringan saja. Setelah sekian lama meulis dengan serius tata bahasanya. Harus mengikuti tata bahasa yang baku. Ada subyek, predikat, obyek, dan keterangan.

Nulis apa ya....
Hal teriseng yang pernah aku lakuin

pertama,
Aku dan adikku yang paling kecil, pernah melakukan hal terbodoh dalam hidup.
Naikkin air ke tandon atas.... gila banget. Gara-gara lampu mati. Air tandon atas habis. Terus mau mandi pake shower. Jadi deh usungin air pake timba ke tandon atas. Padahal kan iso nampung air aja di bak kamar mandi. Setelah itu lampu nyala... ha ha ha

kedua... kapan2 aja ... lagi ditunggu ama Ageng nih....

Monday 12 May 2008

the 1st presentasi

setelah bersih-bersih file di komputer, aku menemukan persiapanku untuk pertama kali presentasi. bagaimana ndredegnya ketika itu akan datang. setelah baca kembali ini, ingatan kembali melayang ke masa itu....


Good morning every body. May I introduce myself first. My name is Andarita Rolalisasi, reseacher and I am Indonesian. I’m going to talk about Community based development related women’s role and alleviating poverty, specially in Surabaya, Indonesia. Why I choose this topic? Because main aims this program is peran aktif community, so hope the alleviating poverty program can correct target (tepat sasaran).

I’m going to devide in three part, first about Indonesia in general, second about Surabaya, and the last about shelter condition in Surabaya.

First about Indonesia in General. Indonesia is a nice country that is the fourth most populous country in the worl after China, India, and US. It area more less than two million square kilometres which is equal to four times the area of Sweden. Sweden is land area but Indonesia is archipelago, consist of nearly eighteen thousand islands of which about thre thousand inhabited. The area from Sabang in north Sumatera to Merauke in Irian Jaya. The biggest islands are Java, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, and Irian Jaya. Population prediction in 2006 of two hunderd and twenthy one point nine million people live in Indonesia, and sixteen percen or more than one hundred thirdthy three million people live in Java island. Java island is seven percen of all Indonesia area.

The climate is tropical with heavy rainfall throught the year.

Second, Surabaya is the capital city of East java Province, at The East and the east area of Surabaya is the hourbour area. The west border with Kabupaten Gresik and the south border is kabupaten Sidoarjo. It is the second biggest city in Indonesia after Jakarta, with a population of about two point six millions people in two thousand and four and a density af arround eigth thousand people per square kilometres. The highest density in city centre like in sub district Tegalsari, Genteng, Bubutan Simokerto, Gubeng, Tambaksari, Wonokromo, or around main street from haourbour to airport in Juanda. The west and east area of Surabaya is more rarely density, so the direction of housing development there are.

Surabaya serve by Juanda international airport, Tanjung Perak hourbour, two big bus terminal, two big train station, and many transportation shelter.

Friday 11 April 2008

I-ARCH APRIL 2008

Tulisan pertamaku tentang arsitektur yang dimuat di I-Arch edisi April 2008 Nineteenth Issue Good Renovation. Tulisan ini tentang Traveling Museum Apartheid Johannesburg, Sebuah Kotak Memori

2008, Apartheid Museum, The Boxes of Memories, I-Arch Magazine ISSN 1978-2373

















Monday 24 March 2008

DATANG TAK DIUNDANG

akhirnya datang juga kenalan lama yang beberapa saat lalu ketemu
sebenarnya aku gak mau ketemu dia lagi
karena akan mendatangkan marabahaya dalam hidupku
mengacaukan ritme hidupku karena pengaruh kuatnya

dia begitu magis
aku terbius
aku terlena

sudah
pergilah kau
jangan pengaruhi diriku
aku ingin terbebas dari dirimu
jangan belenggu aku dengan cintamu

pergilah jauh..
KEMALASAN

karna dirimu ...
aku gak bisa merevisi proposalku
badanku sakit semua
makan melulu...

selamat datang kegendutan

Monday 17 March 2008

THE IMPACT OF CLIMATE CHANGE AT FISHERMAN SETTLEMENTS

The paper presented at the International Symposium on Climate Change and Human Settlements
Sanur Beach Hotel Bali, Indonesia, March 18-20th 2008

ANDARITA ROLALISASI (rolalisasi@yahoo.com)
MAHESTI OKITASARI (mahesti_okitasari@yahoo.com)

ABSTRACT

The oceans play a major role in weather and climate because over 70% of the Earth's surface is covered by oceans. The atmosphere picks up most of its moisture and heat from the oceans and thus weather patterns and climate are controlled by the oceans. Indonesia as an archipelago owned 81.000 km coastal zone, which is second in length after Canada, therefore coastal zones are important zone in Indonesia because a majority of the population inhabit such zones.

Increase in the earth’s temperature due to an accumulation of carbon-based greenhouse gases such as carbon dioxide, methane and hydro fluorocarbon, is promoting climate change. Change in the global temperature is also apparent in the oceans, causing changes to weather cycles and climate. For Indonesia, predicted increases in sea levels by the end of this century could potentially submerge some coastline up to 50 meters inland. It is estimated that more than 405,000 hectares of Indonesian land will be submerged, thousands of small islands will disappear from the map of Indonesia, hundreds of thousands of hectares of fishponds and paddy fields in tidal areas will be lost, and coastal abrasion and seawater intrusion will threaten even the terrestrial population (Cornejo, Pilar, 2007).

The fisherman settlements at Pasuruan spread from Tambaan to Mandanrejo with 502.378 ha of fishponds (Pasuruan in Figures, 2005). The settlement also affected by the climate change, which affect the fisherman incomes. The study indicate that the rise of sea level becoming very often, which hit the fisherman settlements and the people everyday life activities.

The study was conducted by collecting data about the floods and survey in the inundated areas. The aim of the study was purposed to grasp the current physical and environmental of the affected area.

Keywords: climate change, fisherman settlements, flood, sea level rise.


1. INTRODUCTION

It has been widely recognized that global sea level rise may generate immense impact on physical and biological system such as coastal morphology and natural ecosystem. It also induces both habited and inhabited areas. The environment in the coastal zone is predicted in fragile balance regarding natural processes and human activities.

The IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), an association of leading climate, atmospheric and oceanographic scientists from around the world, has released a series of sea-level rise projections as a result of climate change. IPCC also stated that farmers, coastal inhabitants, traditional communities living in forest and dessert are most exposed to climate change (Fussel, Hans-Martin, 2005). The coastal zone is a major focus of human habitation and economic activity. Therefore, low income inhabitants such as the fisherman in Pasuruan, are also vulnerable to climate change due to limited adaptation (Laboratory for Housing and Human Settlements ITS, 2007).

Sea-level rise has a number of biophysical effects on coastal areas including relevant interacting climate and non climate factors. Data Book of Sea-level Rise 2000 (National Institute for Environment Study, 2000) indicated that physical impacts of sea-level rise on the coastal zones are listed as follow:
1. inundation and displacement of lowlands and wetlands
2. coastal erosion intensification of coastal storm flooding
3. increase in salinity of estuaries, salt-water intrusion into freshwater aquifers, and degradation of water quality.
4. change of tide in rivers and bays
5. change of sediment deposition patterns
All of these increase degradation of the environment. The natural-system effects of sea-level rise have a range of potential socio-economic impacts, including: increased loss of property and fisherman settlements, increased flood risk and potential loss of life, damage to coastal protection works and other infrastructure (Laboratory for Housing and Human Settlements ITS, 2007).

In Pasuruan, the socio-economic impacts of sea-level rise are anticipated to affect a large proportion of the Pasuruan population. There are a large number of local inhabitants will be affected directly by the impacts of sea-level rise due to direct property loss at present, future development along the coast and the implications of rising sea level and coastal storms on the wider community will be extensive.


2. FISHERMAN SETTLEMENTS AT PASURUAN AND THE IMPACT OF CLIMATE CHANGE

Pasuruan is a coastal urban area situated on the lowland part/coastal area of East Java province in Indonesia. Most of the area of Pasuruan Regency located on low land between 3 up to 6 m above sea level and the height is 25 up to 50 m above sea level. The type of all seashores is plain with its slope 0 – 2%. This low land areas of the coastal have the highest impact of the sea level rise in Pasuruan (Pasuruan in Figure 2005).

Pasuruan has two different types of flooding. These are referredlo to locally flood inudation and tidal flood. Tidal flood occurs due to high tidal waves overflowing coastal land. The effect of tidal floods increases every year. Flooding creates several problem that must be taken into account:
• Economic activities of fishermen decreased regarding loss on fisheries sector which plays important role for inhabitant in coastal Pasuruan (while flooding, people will stop catching, drying and selling which caused decrease supply to the market)
• School children has to stay at home due to closed schools for about 2-3 days
• Inundated fishermen housing when tidal flooding reach into the house and disturb the lives of the inhabitants. Oftenly the flood water reach about 100 centimeters in height.
• Areas surround the houses also inundated, creating unhealthy environment for the people. Because of the flooding, the fishermen are difficult to go out or came to the settlement. Toilet and bathing facilities also flooded and sewage system did not work properly (Laboratory for Housing and Human Settlements, 2007).

Hundreds of settlements and fish ponds flooded with sea-water intrusion spread from Panggungrejo sub-district in the coastal area to Mandaranrejo, Ngemplakrejo and Tambaan district in the downtown Pasuruan. The tidal flooding also evident in Kalirejo Village, Kraton district, Pasuruan Regency . Not only damaged several buildings, it also broke the construction of seawalls or bulkhead.

The potential of fisheries sector in the north coastal Pasuruan are undoubted. Most people inhabited the coast work as fishermen. Fishermen settlements are found in Tambakan sub-district (Gadingrejo district), Ngemplakrejo sub-district (Purworejo district) and Panggungrejo sub-district (Bungulkidul district). From those fisherman settlements, Ngemplakrejo sub-district is the most famous; not only because it has most number of fishermen but also regarding its nearness to the main fisheries landing port.

Almost all fishermen inhabitated in this area sell their products in the fish market nearby including fishermen from Panggungrejo, Tambakan and even from other area outside Pasuruan. The inhabitants in Ngemplakrejo sub-district depend their income on fisheries sector. Their source are not only from the sea but also from dykes and fishponds. Even, the total area of fisheries is the second large after the settlements. It reach about 13,321 ha from the total area of Ngemplakrejo sub-district whisch is 53,69 ha. The settlements cover about 36,03 ha and the rest are forrest and non-settlement buildings (Pasuruan in Figures, 2005).


3. ACTIVITIES FOR REDUCING THE CLIMATE CHANGE IMPACT

Several activities that have been done to reduce the flooding frequency in the Pasuruan are:
• Fisherman activities to reduce the impact of floods using basic infrastructure technology, for example: build embankment and steps constructed above the floods.
• Obtain other work opportunities; low income fisherman are less adapted to capital accessibility, production equipments and information. To fulfill their living expenses while they can not go seafaring during the flood, fishermen work at factories and farming labors in its neighborhood.

4. CONCLUSION AND RECOMMENDATION

Sea-level rise due to climate change is of concern, as it has the potential to cause serious coastal damage. The flooding in the fishermen settlements caused by the sea-level rise disturb the inhabitants of the area. In the coastal area of Pasuruan, the suggested response to sea level rise is to protect the settlements and its environment. The response strategies are:
Raising public awareness
There is a need in raising disaster awareness for coastal inhabitants, particularly in neighborhood level. The first thing to do is socialize the awareness to the public. For student, this phase should be added to their obligatory curriculum without neglecting its locality. Guidance and training in floods disaster evacuation should cover the entire fishermen settlements. The aim of the activities is so that inhabitants are aware what and how is the evacuation process when the flooding hit the settlements.
• Government should provide guidance and monitoring the environment conditions from time to time and also arrange the spatial system in the coastal area.
Wetland preservation
The estuaries and rivers the Pasuruan coastal zone contain economically important wetlands and mangrove system. Efforts should be made to protect this areas by declaring them as protected wetlands.
Coastal zone management plan
Land-use planning in Coastal Zone, such as the use of building setbacks or allocating low lying vulnerable lands to lower value used will help reduce the over all vulnerability to sea level rise. Other land use planning mechanisms, such as construction standards, reduce the risks of living in coastal areas.

REFERENCES

Cornejo, Pilar, 2007, Fighting climate change: Human solidarity in a divided world. Human Development Report 2007/2008. Human Development Report Office, New York
Fussel, Hans-Martin, 2005, Vulnerability: A generally applicable conceptual framework for climate change research from journal Science Direct, California
Laboratory for Housing and Human Settlements. (2007). Studi Penelitian Penyusunan Pedoman Teknis Pembangunan Permukiman (Kawasan Bencana) di Jawa Timur, Surabaya
National Institute for Environment Studies Japan, 2000, Book of Sea Level Rise 2000, Ibaraki
Statistic of Pasuruan City; City Planning of Pasuruan, 2005, Pasuruan in Figures 2005, Pasuruan
Bakosurtanal, 2000, Peta Rupabumi Digital Indonesia, Bogor
www. earth.google.com, March 7, 2008
www.bakosurtanal.go.id, March 7, 2008

Thursday 6 March 2008

IMPROVING MYSELF

There is a large gap between rich and poor people in Indonesia. The consequences of this gap are seen especially in the housing situation. Whereas the rich people have big houses and large estates, people with a low income (generally below $ 100 per month) live as squatters in slum areas or inappropriate situations such as riverbanks. With the knowledge and skills about Regional and Community Planning and Development, I could greatly improve my work for the laboratory. Besides improving my self, this knowledge will be passed on to my colleagues through the project-team structure. In the end, I hope to contribute to the improvement of the housing situation of low income people in Indonesia.

PERSONAL STATEMENT

My name is Andarita Rolalisasi. I am female, thirty six years old, and married.

I growth in a little village named Kasembon about 3 hours from Surabaya, where there are limited education. Therefore after finished Junior High School I got my Senior High School in Batu which is 45 km from my home village. I went to school by bus about one quarter hour. I have to went on 5 am to reach at my school on 6.45 am and as I remember I never late. I back home on 6 pm while took more exercise after class. I would be back home when the way was blocked by land slide after the rain. Due to the way is the only one access, I had to walk over them to catch a bus from the other different direction.

I was studied Architecture during 1990 - 1997 in Department of Architecture, Institute of Technology Sepuluh Nopember Surabaya. In the earlier, I have been marry and got pregnant. I need more willingness and effort to finish my study because of it. I beard at 2 weeks before the end of the first semester but I still could pass the examination. Unfortunately at the end of my study time, my daughter passed away because of sick. I was very sad, but I had to finish my study because I have deep motivation to finish.

I realized that the most influence person in my life is my father. He just graduated from Elementary School, but to increase the income generation as civil servant, he had to pursue higher education. So he continued his study in Junior and Senior High School at evening. In the same time, I went to Junior and Senior High School too. The memories of that keep in my motivation and willingness to continue higher education to increase my knowledge and my capability.

After finished my study in Department of Architecture in 1997, I worked for a General Contractor Company for about five and a half years as Architect. My job description was design several projects, such as fifth floors commercial buildings, interior design of war ship navy of Indonesian Republic, and some private houses projects.

During April 15 until November 18, 2006, I am attending International Advance Training Shelter Design and Development in Lund University, Sweden. The general development objective of the program is to provide professionals working in this field a deeper knowledge and wider frame of reference to enable them to create long term conditions to combat poverty through effective capacity institutional development.

2003 until now, I am a researcher of Laboratory for Housing and Human Settlement, Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya. I have assisted in several projects:
2003 - 2004, I have assisted the Laboratory and the City in several community mobilizations and empowerment processes in slum areas of the city, and also facilitated the city of Surabaya's Social Rehabilitation Project. These projects are aimed at improving the income generation capacities of poor households so that they can become economically self-sufficient. A core strategy of these projects is to use micro-credit to stimulate small and medium business in poor neighbourhoods of the city.
2004, Part of technical research team to analyze East java's Agro-Business potential and strengthen its regional whole sale market. The research suggested price control to reduce speculation and make stocks last longer, and to increase farmers' welfare by ways to reduce price fluctuations due to seasonal variations.
2004, Member of a team that conducted a pre-Feasibility Study for developing a Regional Wholesale Market in Surabaya. Because of its convenient accessibility, there exists great market potential to develop Surabaya as the leading centre of East Indonesia's whole sale trade. The study needed to provide adequate evidence to support Surabaya's claim to be able to become East Indonesia's trading.
2005, I was a part of a Study Team that prepared the Development Plan for the Surabaya-Madura Bridge (Suramadu) Area. The plan aims to develop a mixed-use region complete with business centres, recreation areas, and housing redevelopment so that new business investment can be attracted for the economic growth of the Suramadu Area. The plan attempts to integrate the concept of developing the Suramadu Area as a waterfront city with the existing concept that guides Surabaya's development as maritime city.
2006, Now I am part of team that conducted Pra Design Rumah Toko dan Perumahan YKP PenjaringanSari, Surabaya, East Java. The plan aims to develop a mixed use business area and housing.
I am part of team to map the impact of hot mud floods to the settlements surrounding caused by an oil and gas exploration well in Sidoarjo, East Java.
Also, I am a member of team that to formulate a model to improve inadequate housing in Surabaya and the surrounding. The study needed to improve the quality of the slum area.

Evaluation of Surabaya Slum-Upgrading Program (thesis proposal of Planning and Design Master)

Background:
Slum upgrading in Surabaya was started in 1924 with the focus mainly in sanitation. Since 1968 that was called WR Supratman and KIP (Kampung Improvement Program) in 1976 to improve urban settlement infrastructures. Regarding of the experience Surabaya developed new KIP called Comprehensive-KIP (C-KIP), which has been implemented since 1998 (Johan Silas, 1988). Also a slum upgrading program for the lowest income urban settlements called Social Rehabilitation of Slum Area (Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh-RSDK) has been active since 2003. Base on experience in above, can be concluded that the slum upgrading will not be successful without support from the community and their participation to improve them.
Surabaya Municipality has Master plan of Eradicate Poverty 2002 – 2005 that the focus of slum upgrading are the poverty by economic crisis issue, improvement of poor household small industry, a access and to provide a public facility for poor household, a women empowerment, revitalization of local development board, handling of informal sector, also coordination and effectiveness of eradicate poverty program implementation (Surabaya Planning Board, 2001).
Until 2004, the C-KIP has been implemented in 45 kampungs (www.surabaya.go.id, August 3, 2006 ).

Location of field works:
Provision needs to travel to Indonesia (East Java), to facilitate overall fieldwork project there and help maintain the integrity of the study. The location are two kampungs of Surabaya have been implemented C-KIP 2002 – 2003.

The research question:
How does the C-KIP influence the community to get better living condition?

The research objectives:
• To analyze the improving quality of housing and settlement environment
• To analyze the community empowerment to growth initiative, creativity, and independency on implementation of development program
• To analyze developing chance of business to create the chance of work for kampong community as source of income that could support local economic

Methodology:
• Field survey (interview, questioner, picture) with the stakeholder such as kampung community, Surabaya municipality, and the technical assistant of program.

Outcomes:
• To look for obtained benefit directly and also indirectly in the program of C-KIP which have been implemented

Time: 2 years
• 6 month English preparation
• 6 month matriculation
• 6 month field research
• 6 month write thesis

Evaluation of slum upgrading that have been implemented in Surabaya is necessary to get the right rule models for eradicate poverty in Surabaya. Because I live in Surabaya, so I need the study for my future as architect that helps to increase my knowledge about the urban planning.

Next, I want to be an urban planner that the most of city in Indonesia need for help to anticipated of city development. My knowledge as an urban planner especially in slum upgrading program will help municipality or province government to decrease slum area because of have no good urban plan. So hope can decrease poverty that the indicator is the significant decrease of slum area. The one of way for increase my knowledge in an urban planning is attended in Endeavour Postgraduate Award by Australia Government.

Friday 15 February 2008

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT GUNA MENGURANGI KEMISKINAN PERKOTAAN

Tulisan ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Sumber Daya Manusia
Nama Mahasiswa : Andarita Rolalisasi
NRP : 3207 205 707
Dosen : Ir. Sri Amiranti Sastrohoetomo, MS
Putu Gde Ariastita, ST, MT

ABSTRAK

Dunia sedang bergerak ke arah mega urbanisasi, dan penduduk dunia diperkirakan akan meningkat dari 3 menjadi 4 milyar jiwa, dimana sebagian besar berada pada negara berkembang dalam waktu 15 tahun terakhir. Urbanisasi terjadi akibat migrasi alami maupun karena perluasan wilayah perkotaan terhadap wilayah sekitarnya. Pesatnya urbanisasi dan tidak seimbangnya perkembangan perkotaan merupakan masalah bersama kota-kota besar di Indonesia. Surabaya sebagai kota besar juga mempunyai masalah yang sama dalam hal peningkatan jumlah penduduk dan pemerataan tingkat kesejahteraan penduduknya. Sehingga masih terdapat kantong-kantong kemiskinan (kawasan kumuh) di Surabaya. Hal ini akan membebani kota Surabaya apabila tidak ada regulasi yang mengatur tentang urbanisasi. Mengurangi kantong kemiskinan bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga memerlukan peran aktif masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat.

Makalah ini merupakan critical review tentang pemberdayaan masyarakat di Surabaya khususnya pada kawasan permukiman kumuh (slum area). Pemberdayaan masyarakat di Surabaya merupakan bagian dari perbaikan kampung yang meliputi tiga aspek yaitu aspek fisik lingkungan, peningkatan SDM, dan peningkatan ekonomi keluarga.

KATA KUNCI: urbanisasi, masyarakat, miskin, pemberdayaan


BAB I PENDAHULUAN

SENSUS Penduduk 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa, dengan laju kenaikan sebesar 4,40 persen per tahun selama kurun 1990-2000 . Jumlah itu kira-kira hampir 42% total jumlah penduduk. Mengikuti kecenderungan tersebut, dewasa ini (2005) diperkirakan bahwa jumlah penduduk perkotaan telah melampaui 100 juta jiwa, dan kini hampir setengah jumlah penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Hal ini tentu saja berdampak sangat luas pada upaya perencanaan dan pengelolaan pembangunan wilayah perkotaan.

Secara demografis sumber pertumbuhan penduduk perkotaan adalah pertambahan penduduk alamiah, yaitu jumlah orang yang lahir dikurangi jumlah yang meninggal; migrasi penduduk khususnya dari wilayah perdesaan (rural) ke wilayah perkotaan (urban); serta reklasifikasi, yaitu perubahan status suatu desa (lokalitas), dari lokalitas rural menjadi lokalitas urban, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Sensus oleh Badan Pusat Statistik. Pertambahan penduduk alamiah berkontribusi sekitar sepertiga bagian sedangkan migrasi dan reklasifikasi memberikan andil dua per tiga kepada kenaikan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia, dalam kurun 1990-1995. Dengan kata lain migrasi sesungguhnya masih merupakan faktor utama dalam penduduk perkotaan di Indonesia.

Pada akhir dasawarsa ini, lebih dari 50% dari seluruh penduduk Indonesia bermukim di wilayah perkotaan. Pesatnya urbanisasi dan tidak seimbangnya perkembangan perkotaan merupakan masalah bersama kota-kota besar di Indonesia. Surabaya sebagai kota besar juga mempunyai masalah yang sama dalam hal peningkatan jumlah penduduk dan pemerataan tingkat kesejahteraan penduduknya. Sehingga masih terdapat kantong-kantong kemiskinan (kawasan kumuh) di Surabaya.

Tujuan penulisan critical review ini adalah analisa tentang program perbaikan kampung yang diimplementasikan di kota Surabaya. Dengan fokus utama pada hubungan antara program perbaikan kampung dengan pemberdayaan masyarakat sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan. Apakah program tersebut dapat meningkatkan mutu SDM masyarakat miskin di Surabaya? Apakah program tersebut sudah sesuai dengan tujuan akhir program?

Struktur pembahasan dalam critical review ini adalah sebagai berikut:
1. PENDAHULUAN, yang memuat tentang abstraksi dan pentingnya masalah yang akan dibahas, tujuan dan skema penulisan.
2. GAMBARAN UMUM WILAYAH KOTA SURABAYA, yang memuat tentang gambaran umum eksisting Surabaya, permasalahan yang dihadapi, serta apa usaha pemerintah kota Surabaya untuk mengatasi masalah tersebut.
3. LANDASAN TEORI, yang memuat tentang teori dan penjelasannya yang sesuai dengan makalah yang akan dikritik
4. ANALISA MAKALAH, yang memuat tentang kajian kesesuaian dan ketidaksesuaian antara teori dan makalahnya
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI, yang memuat kesimpulan review dan rekomendasi yang dapat diimplementasikan
6. LAMPIRAN, yang berisi tentang Resume makalah yang dikritik, gambar-gambar deskriptif yang dibutuhkan, dan makalah yang direview.


BAB 2. GAMBARAN UMUM WILAYAH KOTA SURABAYA

Surabaya merupakan kota besar ke dua di Indonesia, dengan luas wilayah seluas 326,37 km2 dan jumlah penduduk sebanyak + 2,7 juta jiwa pada tahun 2006. Kepadatan penduduk sebesar 333.531 jiwa/km2 . Pertumbuhan penduduk kota Surabaya dalam dua dasawarsa terakhir memperlihatkan kecenderungan menurun, dimana periode tahun 1980-1990 mengalami pertumbuhan sekitar 2,06% per tahun, sedangkan pertumbuhan tahun 1990-2000 (sesuai dengan Sensus 2000) mengalami peningkatan sekitar 0,5% per tahun.

Tabel 2.1. Demografi Kota Surabaya
Tahun Populasi Kepadatan Angka Pertumbuhan Sex ratio Rumah tangga Jml rata2 anggota
(jiwa) (jiwa/km2) (%) (%) (unit) keluarga
1980 2,017,527 6,182 2.97 95.40 486,324 4.48
1990 2,473,272 7,578 2.06 95.59 548,981 4.51
2000 2,444,976 7,491 0.5 98.20 709,991 3.66
2006 2,681,971 8,217 - - - -
Sumber: BPS berbagai sumber

Kawasan terbangun di wilayah kota Surabaya, meliputi hampir 2/3 dari seluruh luas wilayah. Konsentrasi pekembangan fisik kota berada di kawasan pusat kota serta kawasan yang membujur dari utara ke selatan sesuai dengan arah jalur Kalimas. Akan tetapi kecenderungan perkembangan terakhir juga dari kawasan barat sampai ke timur. Kawasan permukiman swadaya oleh masyarakat (kampung) terkonsentrasi di kawasan pusat kota, sedangkan permukiman baru yang disediakan oleh pengembang tersebar di kawasan Surabaya barat, timur, dan selatan. Juga terdapat permukiman vertikal baik berupa rumah susun sederhana sewa (rusunawa), maupun rumah susun mewah (kondominium dan apartemen). Kawasan sawah dan tegalan terkonsentrasi di sebelah selatan kota. Kawasan tambak berada di kawasan pesisir timur dan utara. Kawasan kegiatan jasa dan perdagangan terkonsentrasi di pusat kota dan sebagian tersebar di kawasan permukiman yang berada di kawasan sebelah selatan, timur dan barat kota. Kawasan industri dan pergudangan berada di kawasan pesisir utara dan kawasan selatan kota yang berbatasan dengan wilayah kabupaten Gresik dan Sidoarjo.

Penduduk miskin terkonsentrasi di permukiman-permukiman padat penduduk yang banyak bertebaran di tengah kota. Sebagian besar karakteristik penduduknya merupakan para pekerja di sektor informal, seperti penarik becak, pedagang/PKL, penjual sayur dan makanan, dan lain-lain. Mereka kebanyakan berasal dari luar kota. Latar belakang pendidikannya sebagian besar tamat atau tidak tamat SMP atau bahkan dibawahnya. Kemampuan untuk hidup didapatkan dengan mengandalkan sektor informal.

Letak persebaran permukiman kumuh beredar hampir merata di seluruh kawasan kota Surabaya. Akan tetapi kawasan utara kota Surabaya teridentifikasi lebih banyak titik-titik kawasan kumuhnya dibandingkan dengan kawasan lainnya. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh tim penyusun RTRW Kota Surabaya Tahun 2004, kelurahan-kelurahan yang memiliki kawasan kumuh ada 23 buah yaitu: Ujung, Bulak Banteng, Wonokusumo, Sidotopo Wetan, Tanah Kali Kedinding, Bulak, Gading, Dupak, Bongkaran, Sukolilo, Gebang Putih, Medokan Semampir, Keputih, Gununganyar, Rungkut Menanggal, Wiyung, Waru Gunung, Benowo, Moro Krembangan, Romo Kalisari, Sumberejo, Sememi dan Kandangan. Selanjutnya lokasi-lokasi kawasan permukiman kumuh ditinjau dari wilayahnya di Kota Surabaya pada 23 kelurahan-kelurahan tersebut di atas dapat dilihat pada peta di bawah ini.


BAB 3. KAJIAN PUSTAKA


Berdasarkan Goran Tannerfeldt dan Per Ljung, 2006 ; Diperkirakan perkembangan populasi penduduk negara berkembang di masa mendatang sebagian besar akan tinggal di perkotaan. Akan tetapi perpindahan dari sosial perdesaan ke sosial perkotaan merupakan proses yang kompleks dan tidak mudah. Selain kesempatan dan keuntungan yang ada, terdapat beberapa konsekwensi negatif, diantaranya yaitu:
• Kemiskinan dan ketidaksetaraan pendapatan per kapita,
• Terjadi kantong-kantong daerah kumuh dan penurunan mutu lingkungan hidup,
• Ketidakstabilan sosial dan ketidakamanan.

Teori di atas melihat tentang sebab dan akibat urbanisasi. Biasanya urbanisasi hanya dilihat sebagai sesuatu hal negatif yang mengakibatkan kemiskinan di perkotaan. Urbanisasi juga mempunyai sisi positif seperti makin beragamnya kesempatan dan lapangan kerja, makin tingginya tingkat pendidikan warganya, dan lain-lain. Akan tetapi juga perlu diperhatikan tentang pemerataan fasilitas kesejahteraan antara urban dan rural untuk memperkecil angka urbanisasi alamiah.

Berdasarkan Nick Wates, Charles Knevitt, 1987 ; tujuan community architecture adalah:
• Arsitek menggunakan kemampuannya agar memungkinkan masyarakat meraih kondisi yang lebih baik bagi diri mereka
• Memberikan pengalaman kepada masyarakat untuk mengontrol masa depan mereka sendiri.

Community architecture (CA) merupakan pengalaman pemberdayaan masyarakat di London, Inggris. Hal ini memberi ruang kepada warga kota untuk membentuk kehidupan yang lebih baik berdasarkan pengalamannya. Dari pengalaman tersebut, ditentukan arah pembangunan yang sesuai dengan potensi dan masalah setempat. CA dilaksanakan oleh masyarakat yang sudah mapan baik tingkat pendidikan maupun secara ekonomi. Sehingga perlu kajian yang lebih lanjut apabila akan dilaksanakan di negara berkembang seperti Indonesia.

Berdasarkan Louis Helling dkk, 2005 , bahwa elemen dari rencana pembangunan lokal adalah:
Empowerment (pemberdayaan),
yaitu meningkatkan kesempatan dan kemampuan masyarakat dalam membuat dan memutuskan langkah yang akan diambil dalam mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan potensi dan masalah yang ada.
Local Government (pemerintah lokal),
sebagai pemilik otoritas yang mempunyai kewenangan dalam merencanakan, pembuat keputusan, dan pelaksana peraturan. Pemerintah lokal disini bukan hanya pemerintah lokal secara struktur kenegaraan, tetapi juga institusi yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri.
Local Service Provision System (peraturan lokal),
yang mengatur sumber daya hasil dan jasa serta fasilitas publik sebagai sumber dana pembiayaan pembangunan yang berkelanjutan.
Enabling Local Private Sector Growth (dukungan bagi pertumbuhan sektor swasta),
dimana terdapat kesempatan bagi pihak swasta untuk berperan aktif dalam perekonomian


Pemberdayaan masyarakat (PM) merupakan komponen pokok dalam penentuan kebijakan pembangunan nasional untuk mencapai peningkatan kapasitas dan sumber daya. Agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kondisi riil yang terjadi, diperlukan masyarakat yang mengerti akan potensi dan masalah pada lingkungannya. Disamping itu, juga diperlukan unsur lainnya untuk menentukan arah kebijakan pembangunan lokal.

Menurut Dinas PU Cipta Karya Jawa Timur dll , disebutkan bahwa urbanisasi (kemampuan memanfaatkan fasilitas kekotaan) membawa dampak positif dan negatif bagi kehidupan dan penghidupan di kota. Di satu sisi fasilitas kota akan semakin maju dan bermutu, di sisi lain banyak warga lapisan bawah akan tertinggal oleh kemajuan di kota akibat urbanisasi karena ketidaksiapan. Kelompok under class inilah yang akan menjadi masalah kalau tidak ditangani secara tepat dan sesuai tuntutan. Peran serta masyarakat (PM) dalam pembangunan kota dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan/perawatannya.

Terjadi perubahan kebijakan politik di Indonesia yang sentralistik (berorientasi ke pemerintah pusat) menjadi otonomi daerah (mengelola diri sendiri) setelah tahun 1998. Hal ini memerlukan peran aktif masyarakat dalam penentuan arah pembangunan, pelaksanaan pembangunan dan monitoring serta evaluasi hasil pembangunan. Sehingga akan sulit dilaksanakan di daerah dimana masyarakatnya apatis terhadap pembangunan daerahnya.

Sebagai perbandingan dengan kota Surabaya, disajikan kota Johannesburg yang mempunyai kemiripan karakteristik demografi, dimana terdapat kemiripan yang khas antara Surabaya dan Johannesburg yaitu populasi penduduk tinggi dan terdapat kantong-kantong kemiskinan (ras hitam). Seperti halnya kota-kota besar di Afrika Selatan yang mengalami peningkatan urbanisasi setelah runtuhnya rezim apartheid. Johannesburg is the highest crime city of South Africa. Isu utama yang mengiringi kehidupan di sana adalah keamanan dan kemiskinan sebagian besar warganya (kulit hitam). Korban terbesarnya adalah wanita dan anak-anak.
Johannesburg merupakan kota dengan tingkat urbanisasi yang tinggi serta terdapat kesenjangan yang sangat signifikan antara ras putih dan berwarna. Pemerintah kota Johannesburg memiliki rencana pembangunan yang disebut Integrated Development Planning (IDP) Johannesburg. IDP mengatur juga tentang pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan dimana dilibatkan secara penuh dalam proses pembangunan.

IDP merupakan panduan proses pembangunan bagi pemerintah kota dalam menyediakan pelayanan yang baik bagi warga kota. Program pemberdayaan masyarakat tersebut diantaranya adalah:
• Program kewirausahaan perempuan/pelatihan ketrampilan, dengan tujuan sebagai berikut:
− Dukungan terhadap kelompok-kelompok perempuan dalam kemampuan ekonomi
Social amenities for women in the survivalist sector (i.e PSK)
− Memberi ruang bagi perempuan tuna wisma untuk hidup
• Program pengembangan ketrampilan:
− Memberi kemudahan dalam penyediaan fasilitas ketrampilan.
− Peningkatan kemampuan berusaha dalam sektor ekonomi kecil (survivalist economy sector)

IDP dibuat secara berjenjang untuk jangka menengah (5 tahunan) dan jangka panjang (tujuan akhirnya). IDP dibagi atas beberapa sektor sasaran, seperti program untuk wanita, pemuda, dan anak-anak. Secara teoritis, IDP sudah mencakup seluruh aspek masyarakat dan stakeholder yang berperan dalam pembangunan. Akibat politik apartheid yang masih membekas di masyarakat, hal ini sulit diterapkan. Masih terdapat perbedaan yang signifikan antara fasilitas dan kesejahteraan antara penduduk kulit putih dan hitam.

Ras kulit putih dan kulit hitam menempati bidang perekonomian, permukiman, fasilitas pendidikan dan lain-lain secara berbeda dan terpisah. Ini mengakibatkan kemampuan SDM masing-masing golongan mempunyai jarak yang sangat signifikan. Peningkatan SDM yang tertuang dalam IDP lebih banyak menangani permasalahan tentang pemberdayaan perempuan, anak-anak dan remaja karena memang jumlah merekalah yang paling mendominasi dan membutuhkan hal ini.

Perbedaan mendasar dari program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan SDM di Surabaya dan Johannesburg adalah:
• Secara administratif
Di Surabaya membutuhkan bukti diri sebagai penduduk lokal, sedangkan di Johannesburg, semua warga di kawasan tersebut yang membutuhkan akan mendapatkan program yang sama.
Di Surabaya, penduduk yang mapan ada kesempatan untuk mendapatkan program. Di Johannesburg, program tersebut memapankan warga agar lebih berdaya.
Jenis pelatihan
Disesuaikan dengan minat, kemampuan, dan kebutuhan setempat.


4. ANALISA
4.1. URBANISASI dan KEMISKINAN

Terdapat berbagai definisi mengenai makna dan fungsi kota pada skala makro dan mikro. Secara makro kota merupakan bagian dari sistem kota global, dengan semua resiko dan manfaat yang terkandung, serta sebagai akibat globalisasi dari kehidupan masyarakat yang semakin mantap. Faham ini perlu dilengkapi dengan kejelasan mikro, yaitu :
- Kota merupakan sistem dari beragam sarana fisik dan non fisik yang diadakan oleh dan untuk warga masyarakat, serta untuk merangsang dan memfasilitasi aktivitas, serta kreativitas warga, dalam mewujudkan cita-cita politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidupnya.
- Kota membuka dan memberi peluang yang sama bagi semua lapisan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang sesuai dengan cita-citanya secara adil dan demokratis.
- Kota-kota di Indonesia berkembang pesat, dan direncanakan sesuai dengan standar-kota-kota lain di dunia, namun di sisi lain kota harus mampu mengedepankan kekhasan lokal, baik yang fisik maupun non-fisik dalam dimensi kemanusiaan yang alami.

Kegiatan industri dan jasa di kota-kota tersebut yang semakin berorientasi pada perekonomian global, telah mendorong perkembangan fisik dan sosial ekonomi kota, namun semakin memperlemah keterkaitannya (linkages) dengan ekonomi lokal, khususnya ekonomi perdesaan. Dampak yang paling nyata hanyalah meningkatnya permintaan tenaga kerja, yang pada gilirannya sangat memacu laju pergerakan penduduk dari desa ke kota.

Pembangunan perkotaan di Indonesia memberikan berbagai dampak bagi masyarakat secara luas, baik yang bersifat positip, maupun yang negatif. Disadari bahwa pembangunan di kota-kota besar dan menengah di Indonesia, yang dipenuhi oleh penduduk yang berurbanisasi dari desa-desa memberikan banyak manfaat bagi Pemerintah, maupun bagi masyarakat. Manfaat dimaksud di antaranya dukungan terhadap Product Domestic Regional Bruto (PDRB) memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum serta penyediaan sarana dan teknologi untuk peningkatan pengetahuan dan kepentingan warga masyarakat. Namun disadari banyak dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan kota-kota tersebut, diakibatkan berbagai faktor, salah satu di antaranya kesalahan pendekatan penyusunan perencanaan pembangunan kota.

Pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut diakibatkan oleh tiga buah faktor. Faktor pertama adalah faktor pertumbuhan alami yang merupakan selisih dari jumlah kelahiran dengan jumlah kematian. Kedua adalah faktor pertumbuhan migrasional, sebagai hasil selisih dari migrasi masuk dengan migrasi keluar wilayah perkotaan. Sementara faktor ketiga adalah faktor reklasifikasi yang dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan status kawasan akibat perubahan kondisi kawasan dari kawasan non-perkotaan menjadi suatu kawasan perkotaan di waktu berikutnya sebagai hasil dari kegiatan pembangunan yang dilakukan pada kawasan tersebut. Berdasarkan karakteristik lokasinya, faktor terakhir dapat dibedakan menjadi dua buah kategori, yaitu reklasifikasi akibat perluasan/aneksasi suatu kota yang terjadi pada wilayah pinggiran dari sebuah kota utamanya, dan reklasifikasi yang terjadi sebagai akibat pemunculan suatu kota kecil sebagai akibat dari pertumbuhan dari suatu kawasan pedesaan dan/atau pusat desa menjadi sebuah kawasan perkotaan yang memiliki aktivitas yang semakin intensif dan beragam.


4.2. PROGRAM PERBAIKAN KAMPUNG

Program perbaikan kampung (slum upgrading program) terdiri dari aspek fisik, sosial, ekonomi, kelembagaan dan peningkatan mutu lingkungan yang melibatkan seluruh stakeholder yaitu penduduk, kelompok masyarakat, swasta, dan pemerintah kota/kabupaten setempat.

Program perbaikan kampung yang dilaksanakan di Surabaya disebut Comprehensive-Kampung Improvement Program (C-KIP) yaitu program perbaikan mutu lingkungan kampung di bidang fisik lingkungan permukiman, pembangunan di bidang sosial ekonomi masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat, untuk menggalang kekuatan masyarakat agar dapat berperan aktif dalam pelaksanaan program pembangunan permukiman. Tujuan program adalah:
• Meningkatkan kualitas lingkungan permukiman kampung terpadu melalui aspek fisik, sarana dan prasarana, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat
• Pemberdayaan masyarakat guna menumbuhkan inisiatif, kretaifitas, dan kemandirian dalam pelaksanaan program pembangunan di lingkungan tempat tinggalnya
• Mengembangkan peluang usaha guna menciptakan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan keluarga

Secara umum konsep pengentasan kawasan kumuh di Surabaya adalah dengan meningkatkan tiga aspek, yaitu:
• Peningkatan sumber daya manusia, SDM (improving of human resources)
• Peningkatan kekuatan ekonomi (improving of social wellfare)
• Peningkatan mutu lingkungan hidup (improving of environment quality)
Ketiga unsur diatas sangat terkait erat. Peningkatan kemampuan SDM akan meningkatkan kekuatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah kebutuhan hidup terpenuhi maka akan dapat menata lingkungan sekitarnya.


4.3. PERAN SERTA MASYARAKAT

Peran serta dalam hal ini diterjemahkan dan asal kata participation, yang diantaranya mempertimbangkan pendapat, mengartikan secara singkat bahwa partisipasi itu adalah take a part atau ikut serta. Peran serta masyarakat dengan keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan (dalam perencanaan) atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Suatu peran serta memer;ukan kesediaan kedua belah pihak dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Adapun tujuan peran serta masyarakat yang ingin dicapai, pada prinsipnya harus pula dikondisikan suatu situasi dimana timbul keinginan masyarakat untuk berperan serta. Hal ini akan sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan peran serta masyarakat itu sediri.

Peran serta masyarakat memiliki keuntungan sosial, politik, perencanaan dan keuntungan lainnya, yaitu :
· Dari pandangan sosial, keuntungan utamanya adalah untuk mengaktifkan populasi perkotaan yang cenderung individualistik, tidak punya komitmen dan dalam kasus yang ekstrim teralienasi. Di dalam proses partisipasi ini, secara simultan mempromosikan semangat komunitas dan rasa kerja sama dan keterlibatan. Pada kasus kelompok miskin dan lemah, partisipasi dapat berkontribusi ke proses peningkatan, pendidikan, dan pelatihan sebagai penyatuan (integrasi) ke dalam komunitas yang lebih luas yang di dalamnya rasa ketidakberdayaan (powelessness) dapat ditanggulangi dan swadaya (self-help) dan pembangunan kepemimpinan dapat dipromosikan.
· Dari segi politik, partisipasi lebih mempromosikan participatory dibanding demokrasi perwakilan (representative democracy) sebagai hak demokrasi dan setiap orang dan dengan demikian publik secara umum, untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik juga akan membantu dewan (counsellors) dan para pembuat keputusan lainnya untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai permintaan-permintaan dan aspirasi konstituen mereka atau semua pihak yang akan terpengaruh, dan sensitivitas pembuatan keputusan dapat dimaksimalkan jika ditangani secara tepat.
· Dan segi perencanaan, partisipasi menyediakan sebuah forum untuk saling tukar gagasan dan prioritas, penilaian akan public interest dalam dinamikanya serta diterimanya proposal-proposal perencanaan.
· Keuntungan lain dan public participation adalah kemungkinan tercapainya hubungan yang lebih dekat antara warga dengan otoritas kota.

Banyak faktor yang menjadi hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam perencanaan. Peran serta masyarakat dalam sistem perencanaan dihadapkan pada berbagai persoalan, baik pada level negara bagian maupun lokal. Hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam penataan ruang yaitu :
1. Partisipasi dalam proses perencanaan lokal umumnya dimulai sangat terlambat, yaitu setelah rencana (the real planning directions) telah selesai disusun, sehingga masyarakat akhirnya hanya mempertanyakan hal-hal bersifat detail.
2. Partisipasi komunitas yang sungguh-sungguh sangat sedikit apalagi mengenai isu-isu besar seperti pertumbuhan dan pembangunan kota.
3. Ketika partisipasi tersebut benar-benar diinginkan, terlalu sedikit masyarakat yang terorganisasi atau yang terstruktur secara mapan yang efektif mengajukan masukan dan komunitas.
4. Secara umum, komunitas tidak memiliki sumberdaya yang baik dalam hal waktu, keahlian atau ruang untuk membuat aspirasinya didengar secara efektif.


4.4. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pemberdayaan masyarakat (community development) telah diwacanakan di Indonesia sejak dekade 1960. Dari aspek keterlibatan masyarakat, terdapat 3 (tiga) bentuk pemberdayaan masyarakat, yaitu:
Development for community
Dimana dalam proses pembangunan, masyarakat sebagai obyek karena penyusunan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan dilaksanakan oleh pihak luar.
Development with community
Ditandai secara khusus dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak.
Development of community
Merupakan proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan.

Ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan yang ada lebih berada pada sarana (means) yang dipakai. Efektivitas sarana ini sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada masyarakat tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang dibutuhkan. Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah seberapa jauh kelembagaan masyarakat telah berkembang. Pada masyarakat yang kelembagaannya sudah lebih berkembang development of community akan lebih tepat.


BAB 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Program ini mempunyai kelemahan yang sangat signifikan, yaitu diperlukan identitas diri yang sah sebagai penduduk setempat (Kartu Tanda Penduduk, KTP). Penduduk musiman atau penduduk miskin biasanya KTP bukan merupakan prioritas. Mengurus KTP juga memerlukan biaya, sedangkan penghasilan yang didapatkan masih diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan makan. Hal ini mengakibatkan mereka tidak tersentuh oleh program pengentasan kemiskinan. Seperti C-KIP (Comprehensif-Kampung Improvement Program), RSDK (Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh), PLP (Penanganan Lingkungan Permukiman), dan lain-lain. Akhirnya, program-program ini akan diserap oleh warga mapan (menjadi salah sasaran), karena warga yang diharapkan menjadi sasaran tidak memenuhi syarat (tidak mempunyai KTP setempat).

2. Program sebaiknya juga menyentuh elemen masyarakat miskin lainnya untuk meningkatkan sumber daya manusia secara menyeluruh. Seperti kepada pemuda atau lelaki dewasa. Akibat kondisi perkenomian yang semakin sulit, banyak kepala keluarga yang mengalami PHK dan banyak pemuda-pemudi yang kesulitan untuk mencari kerja. Maka diperlukan kemampuan khusus yang dapat menciptakan lapangan kerja, paling tidak untuk dirinya sendiri. Pelatihan ini juga disesuaikan dengan minat peserta. Pelatihan yang dapat dilaksanakan antara lain menyetir, mekanik, bubut, dan lain-lain.

3. Urbanisasi tanpa persiapan dan perencanaan akan membebani kota tujuan terutama dengan meningkatnya masyarakat miskin dengan mutu SDM rendah.

4. Permukiman Kumuh dan Sektor Informal adalah Solusi dan Aset. Permukiman kumuh dan sektor informal bukanlah masalah apabila dipandang dari sudut berbeda. Penduduk miskin merupakan pribadi mandiri dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Rumah dan lingkungannya merupakan aset fisik, aset ekonomi, dan aset sosial. Rumah berperan untuk mengembangkan kapital sosial keluarga, sebagai tempat usaha, (sering menjadi) aset ekonomi satu-satunya yang paling berharga, untuk kolateral ke bank dan seperti kita tahu bahwa harga rumah akan naik terus-menerus.

5. Terdapat beraneka macam dan bentuk program perbaikan lingkungan (slum upgrading) yang diimplementasikan di kota Surabaya. Pada dasarnya target utamanya sama yaitu peningkatan mutu SDM, perbaikan fisik lingkungan, dan peningkatan tingkat ekonomi masyarakat. Perbedaan terletak pada sumber dana, dinas pelaksana, serta prosentase pendanaan sesuai dengan target utama program. Diperlukan koordinasi antar instansi dinas pelaksana program agar tidak terjadi tumpang tindih lokasi dan target implentasi program.

6. Akibat kurangnya koordinasi antar instansi maka implementasi program perbaikan kampung di Surabaya tumpang tindih. Terdapat kelurahan/kawasan yang sering medapatkan implementasi pogram, tetapi tidak sedikit juga sampai sekarang terdapat kelurahan/kawasan yang belum terjamah implementasi semua program slum upgrading di kota Surabaya.

7. Perlu adanya monitoring dan evaluasi (monev) pada saat ataupun setelah pelaksanaan program agar program tersebut berkelanjutan. Dari monev dapat juga dievaluasi keberhasilan dan kegagalan program.

8. Program pemberdayaan masyarakat merupakan suatu program yang menempatkan masyarakat sebagai subyek dan obyek sekaligus pembangunan. Hal ini akan mengurangi beban pemerintah dalam implementasi pembangunan. Dengan masyarakat yang berdaya maka diharapkan kemiskinan dapat diatasi sendiri secara mandiri oleh masyarakat


DAFTAR PUSTAKA

Bappeko Surabaya; 2005, Surabaya in Focus 2004
Brockerhoff, Martin P; 2000, An Urbanizing World, Population Buletin Vol. 55 No. 3
CIB Report Publication 314; 2007, Informal Settlements and Affordable Housing, ISBN. 978-90-6363-056-0
Dinas PU Cipta Karya Jawa Timur; Jurusan Arsitektur FTSP ITS; 2000, Buku Modul dan Acuan Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Daerah
Helling, Louis; Serrano, Rodrigo; Warren, David; 2005, Governance and Public Service Provision Through a Local Development Framework, Community Driven Development, World Bank, Discussionpaper 0535
Sub Dinas Perkotaan; Dinas Permukiman Provinsi Jawa Timur; 2006, Studi Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan Surabaya dan Sekitarnya
Tannerfeldt, Goran; Ljung, Per; 2006, More Urban Less Poor an introduction to urban development and management, London, ISBN-13. 978-1-84407-381-3
UNCHS, 1996; Global Report on Human Settlements, “An Urbanizing World”, Oxford University Press
United Nations, 2000; World Urbanization Prospects: The 1999 Revision
Wates, Nick; Knevitt, Charles; 1987, Community Architecture how people are creating their own environment, London, Penguin Books
www.joburg.org.za, 5 Oktober 2007
www.worldbank.org, 4 Oktober 2007

Tuesday 12 February 2008

APARTHEID MUSEUM JOHANNESBURG, sebuah kotak memori

2008, Apartheid Museum, The Boxes of Memories, I-Arch Magazine ISSN 1978-2373

APARTHEID adalah sistem politik pemisahan berdasarkan warna kulit di Afrika Selatan yang terdiri atas ras kulit putih, hitam, berwarna dan India. Sistem tersebut digunakan selama tahun 1948 - 1990. Setelah terjadi negosiasi pada tahun 1990 - 1993, maka tumbanglah sistem apartheid ini yang ditandai dengan terpilihnya Nelson Mandela sebagai presiden pada tahun 1994.

Untuk mengenang kengerian dan apa yang terjadi selama masa kelam tersebut,
diselenggarakan sayembara untuk membangun Museum Apartheid yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Port Elizabeth, New Brighton. JO NOERO memenangkan sayembara tersebut karena berhasil menangkap spirit dan esensi dari masa tersebut. Kengerian yang terjadi, ketakutan yang menimpa, pemisahan yang terstruktur dan dilembagakan secara formal, dapat digambarkan dengan baik di dalam desain Jo Noero. Juga tergambar spirit kebangkitan kembali untuk menuju penghidupan yang lebih baik.

JO NOERO merupakan professor arsitektur dari Universitas Washington dan terkenal dengan pemikirannya yang sangat memihak kepada masyarakat ekonomi kecil. Salah satu pemikirannya dalam design permukiman adalah “one-plot, one-house, one-family scenario”. Hal ini menunjukkan bahwa Jo Noero mengharapkan kemudahan akses penyediaan “shelter” (rumah) bagi seluruh lapisan masyarakat. Jo Noero sangat berpengalaman dalam desain fasilitas umum permukiman skala perkotaan di banyak kota Afrika Selatan


MEMORY BOXES OF HISTORY

Bangunan museum seluas 6.000 m2 dan terletak pada lahan seluas 7 ha. Sebagian besar lahan dibiarkan fungsinya seperti keadaan semula. Hal ini terlihat pada tetapnya keberadaan padang savana dan danau di sekitar museum. Ide dasar desain museum adalah “hall of colums”dan pemahaman luas tentang “memory boxes of history”. Pengunjung masuk pada kawasan museum ditangkap oleh tujuh pilar konstitusi yang berdiri gagah di pelataran depan (hall of colums). Letak pilar tersebut dipisahkan oleh kolam air sehingga lebih terasa monumental dan gagah. Pilar-pilar tersebut didedikasikan kepada para pemimpin anti apartheid yang merupakan penggambaran tujuh nilai dasar kehidupan yaitu DEMOCRACY (demokrasi), EQUALITY (kesetaraan), RECONCILIATION (rekonsiliasi), DIVERSITY (keberagaman), RESPONSIBILITY (rasa tanggung jawab), RESPECT (rasa saling hormat), dan FREEDOM (kebebasan). Nilai tersebut mengingatkan akan darimana mereka berasal dan menggambarkan tujuan akhir yang akan dituju. Di dalam skala yang lebih luas diperlukan pemahaman yang mendalam tentang penggambaran sejarah.

Memory boxes of history merupakan wahana yang diperuntukkan untuk menangkap
kompleksitas akibat politik apartheid serta wadah Negara agar menyegerakan proses melupakan terjadinya tragedi rasisme. Kompleks museum terdiri dari museum dan kegiatan penunjang seperti toko cindera mata dan tempat parkir. Bangunan museum merupakan bangunan massif berbentuk kotak maupun tabung yang terdiri dari dua lantai maupun hanya 1 lantai untuk hall. Bangunan museum merupakan perpaduan yang komplit antar elemen alam. Susunan tembok yang ditutup sempurna oleh plester maupun yang dibiarkan tanpa plester, susunan pecahan batu, baja galvanis baru maupun yang berkarat menciptakan suatu hubungan harmonis antara struktur dan lingkungan sekitarnya. Pengunjung dapat masuk berdasarkan jenis karcis yang didapatkan yaitu black (Nie-Blankes/Non-Whites) dan white (Net-Blankes/White-Only. Karcis tersebut akan memandu pengunjung menuju lorong yang berbeda. Disepanjang jalur itu diperlihatkan identitas diri, buku identitas yang sangat ditakuti dan dibeci, foto, puisi, dan memori akan kekejaman masa itu. Terutama yang dialami oleh penduduk berkulit hitam. Buku identitas merupakan keharusan bagi seseorang untuk berada dan menuju ke suatu tempat.Lorong pertama akan menangkap pengunjung dengan penggambaran pemisahan berdasarkan ras dan warna kulit seperti pada masa sistem Apartheid berlangsung. Terdapat jalur khusus bagi kulit putih dan kulit hitam. Jalurnya begitu sunyi dan mencekam yang digambarkan melalui puisi, foto, id card dan lain-lain yang terasa menyayat hati penikmatnya. Pemisahan ini sesuai dengan karcis masuk yang ada di tangan. Satu rombongan akan mendapatkan secara acak jenis karcis masuk tersebut. Sehingga terkadang kita akan berpisah dengan rombongan kita.

Lorong menuju pada sebuah tangga untuk menuju ke level lebih tinggi. Di level ini seakan banyak sekali pengunjung yang sedang berjalan dan bergerak. Mereka berjalan seorang diri, anak dan orang tua, berpakaian casual, pergi bekerja, atau sedang bergembira. Ini adalah penggambaran aktivitas sehari-hari yang mereka jalankan. Kita harus jeli melihat, apakah yang kita lihat itu gambar di cermin atau pengunjung yang lain. Sebagai pembatas bangunan, digunakan tumpukan batu yang hanya disusun di dalam anyaman kawat besi dan ditopang oleh struktur baja. Sekilas seperti bangunan yang belum selesai. Padahal memang itulah yang ingin disajikan oleh arsiteknya yaitu penggambaran spirit proses pembangunan di Afrika Selatan yang sekarang sedang berlangsung dan proses tersebut belum sepenuhnya selesai. Di dinding terpajang lukisan penggambaran keadaan yang dialami oleh ras kulit hitam saat politik apartheid berlangsung. Begitu mengerikan. Gambar, lukisan, atau foto menunjukkan kehampaan, panas, hopeless, miskin, hina. Pengunjung diharapkan dapat merasakan hal mengerikan yang telah terjadi. Ternyata pintu masuk yang telah digambarkan di atas merupakan atap dari museum itu sendiri.

Terdapat jalan turun yang melingkar yang ditangkap oleh pelataran untuk menuju interior museum. Interior museum berisi display kata-kata yang menyejukkan bagi yang membacanya. Serta diorama dinamika sosial kehidupan mereka. Dari jaman penjajahan, era apartheid sampai kondisi paling terkini. Juga didisplay hasil jepretan fotografer ternama dan ditampilkan dalam warna hitam putih. Bahkan hasil jepretan tersebut dapat memenuhi satu sisi dinding. Theatre yang ada menampilkan film tentang sejarah pergerakan. Ada jam-jam khusus untuk menampilkannya. Petugas akan memberitahukan bahwa film akan diputar kepada seluruh pengunjung secara manual satu per satu tanpa pengeras suara. Apabila memakai pengeras suara dikhawatirkan akan mempercepat kerusakan koleksi museum. Theatre tersebut juga dipergunakan untuk pertunjukan musik jaz dan musik asli setempat yang disebut marimba.

Setelah menjelajah interior secara zigzag dan serius maka saat melewati pintu terakhir, kita diterima oleh halaman rumah belakang yang luas sehingga serasa lega. itulah yang ingin disajikan. Setelah melalui perjuangan berat dan melelahkan maka masyarakat Afrika Selatan ingin bebas dari politik apartheid. Halaman luas ini menghubungkan antara museum dan gift shops/café.

Cara pengaturan sirkulasi pengunjung sangat baik, dan patut diimplementasikan dalam desain museum di Indonesia. Pengunjung digiring oleh desain untuk melihat satu persatu koleksi yang memerlukan waktu kurang lebih 3 jam. Desain interior museum akan menuntun pengunjung untuk menjelajah zigzag interior. Terkadang berada di atas atap, terkadang terasa gelap dan misterius, yang dapat merasakan bahwa apartheid adalah sebuah kesalahan sejarah. Dari perjalanan tersebut pengunjung digiring untuk dapat merasakan kegembiraan dan gambaran kekuatan yang digambarkan.


PENGHARGAAN INTERNASIONAL


Museum yang dibuka untuk umum pada November 2006, telah menerima 3 penghargaan internasional. Sebelum dibuka, pada bulan Juni 2006 museum apartheid telah mendapatkan penghargaan Lubetkin Prize dari Royal Institute of British Architects untuk katagori hasil arsitektur terbaik di luar Inggris Raya dan Eropa, yang mengalahkan desain Canadian War Museum di Ottawa dan Terrence Donnelly Centre di Toronto.

Selain itu juga mendapatkan penghargaan World Leadership Award tahun 2005 dari kota asalnya Port Elizabeth untuk katagori arsitektur dan teknik sipil serta Dedalo Minosse International Prize tahun 2005/2006 oleh Nelson Mandela Bay Municipality untuk komisi bangunan.


The last, the apartheid museum is the interesting object at Johannesburg. So should be your destination when you at there.

2006 The City Hostel of Amsterdam



Barndesteeg 21
1012 BV Amsterdam
The Netherlands
Phone: +31 (0)20 62 53 230
Fax: +31 (0)20 62 32 282
Email:
City@shelter.nl

Aku pandangi saja makanan yang ada di depanku. Isinya dua tangkup roti, selai, telor, yogurt, segelas air putih. Makanan apa ini, batinku dalam hati. Aku kangen nasi pecel di depan toko Suzana jalan Kertajaya. Nasi pecel ditambah peyek teri dan telur asin. Wuuah yammi.


Di luar gerimis runtuh pelan-pelan. Bunga-bunga di patio terlihat segar. Kursi kayu di taman basah oleh hujan. Angin kanal berhembus menusuk tulang. Aku rapatkan kerah jaketku. Mana tahan dengan cuaca seperti ini. Di Surabaya matahari ganas menerpa penghuninya. Akan tetapi di sini, matahari jual mahal untuk menampakkan diri. Gemiricik air dari kolam di patio menambah suasana dingin. Sambil makan pelan-pelan, otakku penuh dengan rencana aktivitas hari ini. Sewa sepeda, keliling kota dengan sepeda, Anne Huist museum, berfoto ria di Daam square. Oh senangnya. Tetapi kalau melihat keluar, sepet juga melihat cuaca yang tidak bersahabat.

Di depan meja duduk seorang lelaki kurang lebih berumur 23 tahun. Rambut ikal, kulit gelap khas wajah asia tenggara. Sedang membaca dan kalau ketemu pandang tersenyum. Dibelakang komputer terlihat wanita setengah baya sedang berinternet ria. Namanya Brinnet. Kemaren aku sudah berkenalan. Seorang penulis kondang dari Belgia yang sedang berlibur di sini. Sedangkan di pojok terlihat sepasang muda-mudi wajah eropa sedang sarapan sambil baca majalah. Ternyata memang masih jam 7 pagi, jadi belum banyak yang sarapan pagi ini.

Lelaki berambut ikal terlihat berjalan ke mejaku.
Good morning, sapa si ikal.
Morning, jawabku.
May I sit in here.
Sure.
I am Christ, kata si ikal sambil menyodorkan tangannya.
I am Sasi.
I am a volunteer from youth association. I would like to give you some question. Would you like to answer?
What’s your topic about?
About live. We concern about life style of youth.
Am I youth? Tanyaku sambil tersenyum.
Sure. You are youth but you are almost growth adult, jawab Christ sambil tersenyum.
Where do you come from?
Indonesia.
Indonesia? Oh, it’s interesting place. Dari mana?
Kamu bisa berbahasa Indonesia?
Ya, kakek saya dari Indonesia. Dari Ambon. Kalau kamu?
Dari Surabaya. Kamu tahu dimana Surabaya?
I would like to go to Indonesia some time. Aku tidak tahu dimana Surabaya.
Surabaya is capital city of east java province.
I could imagine where is this place.

Uh, senangnya. Setelah dua hari tidak berbahasa Indonesia. Ternyata menyenangkan bertemu dengan orang yang dapat berbahasa Indonesia. I love Indonesia. I always love you forever.
Kita berbincang panjang lebar tentang keagamaan dan situasi politik. Lebih tepatnya Christ banyak menginterograsiku tentang pandangan hidup dan mengapa memilih agama tersebut dalam hidupku.

Setelah kembali lagi di Indonesia, aku baru saja menyadari kalau telah terjadi eksodus warga Ambon karena dituduh oleh pemerintah sebagai anggota RMS. Akhirnya aku tahu mengapa Christ begitu berhati-hati berbicara setelah tahu aku datang dari Indonesia.

The Shelter City Hostel of Amsterdam
April 2006

Monday 14 January 2008

DAPATKAH MEREKA MENCAPAINYA SEORANG DIRI?

Dibuat sebagai tugas mata kuliah Sarana Prasarana (transportasi)

PENDAHULUAN

Awal Mei setahun lalu di tengah dinginnya hembusan angin lautan Baltik, saya terkesima dengan pemandangan di depan. Seorang wanita berusia sekitar 50 tahun sedang duduk di kursi roda berkeliling di jalanan kota Lund seorang diri. Anggota badan yang berfungsi sepertinya hanya tangan saja yang digunakan untuk menekan tombol penggerak kursi roda. Di leher terlihat penyangga leher untuk menopang leher dan kepalanya. Posisi kepala tidak simetris. Walaupun wajahnya terlihat tidak berekspresi tetapi matanya memancarkan semangat dari dalam serta dia terlihat sangat menikmati kegiatannya. Kekurangan fisik yang sedang menderanya tidak menghalangi dirinya untuk menikmati suasana di kota tempat tinggalnya. Dia dapat mengakses tempat dan ruang publik secara mandiri.

Itu adalah gambaran umum bagaimana mudahnya para lansia dan penyandang cacat untuk mengakses fasilitas publik secara mandiri di negara maju. Hal ini dipicu oleh keadaan dimana mereka harus melakukan sendiri segala pemenuhan kebutuhan karena sebagian besar para lansia dan penyandang cacat tinggal sendiri atau hanya dengan pasangannya saja. Menggaji pembantu atau perawat untuk menemani beraktivitas, diperlukan biaya tinggi dikarenakan gaji tenaga manusia sangat mahal.

Terbayang di benak, apa yang akan terjadi apabila mengalami sendiri seperti itu di Indonesia. Yaitu hidup sendiri pada saat tua dan harus melanjutkan hidup pasca mengalami stroke. Maka sangat sulit bagiku untuk mengakses fasilitas publik secara mandiri. Hal ini disebabkan infrastruktur bagi para penduduk berkebutuhan khusus belum tersedia di Indonesia. Sebuah pemikiran yang memilukan untuk hidup menua dan menjadi cacat di Indonesia.

Penduduk berkebutuhan khusus yang dimaksud disini adalah penduduk berusia lanjut (manula) dan penyandang cacat (difable). Manula sudah mengalami penurunan kualitas hidup baik secara ekonomi maupun sosial. Sehingga terkadang menjadi beban bagi penduduk usia produktif untuk menopang kehidupannya apabila tidak mandiri. Hal inilah yang terjadi pada manula di negara berkembang dimana tingkat pendidikan masih rendah. Sedangkan di negara maju, para manula dapat memenuhi kebutuhannya sendiri baik secara sosial dan ekonomi. Apabila sudah tidak dapat memenuhi kebutuhannya, maka negara akan mengambil alih untuk merawatnya. Mereka akan dirawat di panti jompo yang sangat nyaman dan aman bagi manula untuk menjalani sisa hidupnya tanpa ada rasa tersisih dan terbuang.

Penyandang cacat yang dimaksud disini khususnya adalah tuna netra (buta) dan tuna grahita (keterbatasan anggota tubuh). Mereka menggunakan alat bantu diantaranya adalah tongkat, kursi roda, pendengaran yang lebih tajam, dan yang lainnya dalam mengakses tempat publik.

Kebutuhan khusus bagi manula dan penyandang cacat diantaranya adalah bagaimana mereka dapat mengakses segala pelayanan yang dibutuhkan secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana mereka dapat berbelanja di pasar maupun supermarket, ke dokter, dan tempat publik baik dengan berjalan maupun memakai kendaraan umum secara mandiri. Diperlukan penunjuk arah dan fasilitas khusus untuk mencapai dan memenuhi akan kebutuhan publik agar mereka dapat mandiri.


KONDISI EKSISTING DI INDONESIA

Peraturan Pemerintah RI No 34 tahun 2006 tentang Jalan dijelaskan bahwa fungsi jalan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mengusahakan biaya umum perjalanan menjadi serendah-rendahnya.

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No KM 65 tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, diatur tentang standart dan ketentuan tentang halte, kendaraan umum, parkir, fasilitas parkir pada badan jalan, pemakai jalan, tempat istirahat dan trotoar. Namun sangat disayangkan, semua hal itu belum spesifik mengatur tentang keberadaan dan kebutuhan khusus bagi penyandang cacat dan manula.

Penduduk berkebutuhan khusus juga merupakan mahkluk sosial yang memerlukan sosialisasi. Kondisi aksesibilitas di Indonesia tidak memungkinkan bagi mereka untuk mandiri karena tidak tersedianya prasarana dasar. Misalnya seorang pemakai kursi roda, baik manula atau karena cacat tubuh, akan pergi ke luar kota Surabaya sedangkan dia tidak mempunyai kendaraan bermotor. Maka dia memerlukan orang lain untuk melalui proses tersebut. Mulai dari keluar dari rumah, menuju ke stasiun/terminal, naik bus/kereta api, turun setelah sampai tujuan, dan sampai masuk ke tujuannya. Hal ini disebabkan oleh desain kendaraan publik dan prasarana publik yang tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan mereka. Mereka memerlukan halte dan trotoar yang hampir rata dengan jalan, kendaraan publik yang bisa diset ketinggiannya, sehingga pintu masuk dan trotoar sejajar, tempat duduk khusus di dalam bis atau kereta api yang mudah dicapai dan lain-lain.

Pembangunan gedung di Indonesia harus mengacu kepada UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang didetailkan dalam peraturan di bawahnya. Maksud dari peraturan pembangunan gedung tersebut adalah agar pembangunan tersebut sesuai dengan asas manfaat, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dan lingkungannya bagi masyarakat. Di dalam peraturan ini juga belum ada tuntutan untuk menyediakan fasilitas aksesibilitas bagi manula dan difable. Sehingga sebagian gedung yang dibangun di Indonesia belum mengakomodasi kebutuhan tersebut. Bangunan di ITS pun belum memenuhi kebutuhan tersebut. Bagaimana apabila mahasiswa yang berkursi roda akan berkuliah di sini? Maka dia akan memerlukan orang lain untuk mencapai lantai dua dan tiga. Bahkan lantai satupun dia masih memerlukan orang lain.


PEMBELAJARAN DARI LUAR

Mengapa penyandang cacat dan manula di negara maju dapat mandiri? Karena prasarana dasar dan transportasi publik mengakomodasi kebutuhan yang diperlukannya. Dibawah ini adalah contoh desain fasilitas publik yang sudah mengakomodasi kebutuhan tersebut. Desain bis di Barcelona, Spanyol adalah tinggi, dimana tempat penumpang di atas sedangkan di bawah adalah bagasi. Maka pemakai kursi roda naik dan keluar dari bis menggunakan tangga berjalan secara hidrolis. Seperti gambar (1) dan (2), dimana diperlihatkan cara pemakai kursi roda keluar dari bis.

Gambar 1. Fasilitas bus (tangga berjalan) di Barcelona Spanyol, untuk menurunkan penumpang penyandang cacat
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007



Gambar 2. Penyandang cacat dapat turun dari bus seorang diri dengan bantuan tangga berjalan
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007

Penumpang berkebutuhan khusus yang naik bis di Lund, Swedia (gambar 3 dan 4)terletak di bagian tengah bis tersebut. Bis tersebut mempunyai 3 pintu. Pintu tengah khusus digunakan bagi penumpang manula, cacat, serta orang tua yang membawa anak memakai troli untuk naik dan turun. Dibagian ini juga disediakan pengait bagi troli tersebut. Bagian pintu bis tersebut dapat dimiringkan ketinggiannya sehingga hampir sejajar dengan trotoar.

Gambar 3. Tempat duduk khusus untuk anak-anak, orang tua dan cacat.
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007

Gambar 4. Ruang untuk penumpang berkebutuhan khusus berada di tengah bis yang mudah pencapaiannya
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007

Desain prasarana dasar perkotaan juga sangat berpengaruh besar terhadap aksesibilitas bagi para cacat dan manula. Seperti gambar (5) dan (6)memperlihatkan bagaimana ketinggian trotoar yang hampir sama dengan badan jalan. Sehingga ramp yang diperlukan untuk mencapainya, tidak terlalu terjal. Hal ini sangat memudahkan pencapaiannya.

Gambar 5. Jarak antara tinggi trotoar dan jalan raya yang tidak membahayakan bagi penyandang cacat di pusat kota Lund
Sumber: Andarita Rolalisasi, 2006

Gambar 6. Desain akses manusia dan kendaraan yang mudah diakses oleh penyandang cacat secara mandiri di dalam area Universitas Lund
Sumber: Andarita Rolalisasi, 2006

Untuk penderita buta, memerlukan penanda khusus yang dapat dirasakan oleh indera perasa mereka. Gambar (7) memperlihatkan penanda di trotoar yang akan menggiring ke tempat tujuan. Sedangkan gambar (8) memperlihatkan batas daerah aman dan daerah bahaya yang harus dihindari. Tanda ini menunjukkan ruang yang dapat diakses oleh mereka agar aman di stasiun kereta api.

Gambar 7. Penanda arah untuk pejalan kaki buta yang ada di trotoar Osaka Kyoto, Jepang
Sumber: Wahyu Setiawan, 2000

Gambar 8. Batas daerah berbahaya di stasiun kereta api Bangkok yang dapat diakses oleh tuna netra
Sumber: Andarita Rolalisasi, 2007

Yang tidak kalah pentingnya adalah juga aksesibilitas terhadap bangunan. Maka diperlukan ramp yang kemiringannya sangat aman bagi mereka seperti yang terlihat di gambar (9) dan (10). Ini harus disediakan baik di dalam maupun di luar bangunan.



Gambar 9. Akses masuk bangunan publik (gereja) bagi penyandang cacat dan bukan di pusat Kota Lund
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007


Gambar 10. Kemudahan bagi penyandang cacat di dalam perpusatakaan Universitas Lund
Sumber: Johanes Krisdianto, 2007


KESIMPULAN

Penyediaan fasilitas agar dapat diakses oleh penduduk berkebutuhan khusus, perlu melibatkan semua stakeholder yang ada, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hal dimaksudkan agar seluruh stakeholder menyiapkan prasarana dasar dan transportasi tersebut. Pertama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah menyediakan regulasi yang mengatur tentang transportasi dan bangunan publik yang dapat diakses oleh mereka secara mandiri. Di dalamnya mengatur tentang penyediaan kemudahan akses. Pemerintah juga harus mempunyai desain baru yang sudah accessible untuk pembangunan new public facilities, misalnya desain halte, parkir, fasilitas parkir pada badan jalan, tempat istirahat dan trotoar.

Kedua yang harus dilaksanakan pihak swasta sebagai penyedia fasilitas, adalah harus mendesain ulang public transport dan sarana lainnya. Seperti misalnya desain bis dan kereta api, peningkatan kemampuan sumber daya manusia sopir/kernet untuk mengoperasikannya, dan lain-lain.

Sedangkan masyarakat harus mendidik dirinya sendiri dan keluarganya yang berkebutuhan khusus agar menjadi lebih mandiri dalam mengakses fasilitas publik. Ketergantungan penduduk berkebutuhan khusus juga berasal dari cara mendidik di dalam keluarganya.


DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Perhubungan No KM 65 tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung