Article by Aji Prarismawan
Translated by Andarita Rolalisasi
Peneleh grave is a burial complex that was built in 1814 and an area approximates about 4.5 ha. The grave was closed in 1955. Although the condition is now dilapidated but we can learn about the past from the detail of grave. There are many ornaments of tomb like gothic and doric, also the roman scluptures. The story of their lives who died can be found at the stone inscriptions cast iron or marble. One of them is tomb of the VOC company president.
Peneleh is one old part of Surabaya. The location which was formerly a area of territory of choice prince (pinilih), son of Wisnu Wardhana who was a king of Singosari royal. Prince was appointed leader of the area between the river of Pegirian and Kalimas. Besides that, Peneleh is one of history of Surabaya which place of the ancient mosque, the old settlement, the old hole grapes market, and the grave which is one of the oldest graves in East Java. Also the place of HOS Cokroaminoto house where Ir Soekarno lived during his school in Surabaya.
Firstly, place of Peneleh grave was hidden because located across the Kalimas river and among between kampung Peneleh and Lawang Seketeng where near Undaan forest. There were no available way and bridge to the grave. Closure of these locations opened since Peneleh bridge built in 1900's by Dutch. The mode of transportation to reach the grave was by boat. Bodies should be buried along Kalimas by boat and ended at the port which is now a grapes market. Then the corpse was taken to the cemetery by using horse-drawn carriage. The number of horses that pulled the cart shows the social status of body. Besides that, also there was crematory for not buried.
Friday, 28 August 2009
Sunday, 28 June 2009
Course in Shelter Design and Development 2006
Friday, 26 June 2009
Menyusuri jejak masa lalu (makam tua peneleh)
Source article and photos: Aji Prarismawan on facebook, June 24, 2009, 9am
....................




Peneleh merupakan salah satu kawasan asli Kota Surabaya. Nama Peneleh lahir di zaman Kerajaan Singosari. Asal kata "peneleh" berasal dari lokasi ini yang dahulunya merupakan tempat bersemayamnya pangeran pilihan (pinilih), putra Wisnu Wardhana yang memiliki pangkat setara dengan bupati. Pangeran tersebut kemudian diangkat menjadi pemimpin di daerah yang berada antara Sungai Pegirian dan Kalimas ini. Kawasan Peneleh sendiri merupakan salah satu bagian sejarah Kota Surabaya karena di dalamnya memiliki beberapa peninggalan bersejarah diantaranya masjid kuno Peneleh, rumah HOS Cokroaminoto (tempat proklamator Ir. Soekarno tinggal pada saat beliau bersekolah), perkampungan tua, Pasar Peneleh (salah satu tempat di Jawa dimana saat itu buah anggur dapat dibeli) serta Makam Peneleh yang merupakan salah satu makam tertua di Jawa Timur.
Makam Peneleh, merupakan sebuah komplek pemakaman yang dibangun tahun 1814 dan menempati areal seluas 4,5 hektare. Meskipun kondisinya saat ini sangat kumuh dan memprihatinkan, namun masih menyisakan sisa-sisa eksotisme masa lalu. Banyak hal yang bisa digali di dalamnya. Detail ornamen berlanggam gothic dan doric, patung-patung berkarakter Romawi (meskipun sebagian besar sudah tidak dalam kondisi utuh) hanyalah sebagian kecil dari keindahan masa lalu yang masih bisa ditelusuri. Kisah hidup mereka yang meninggal bisa ditemukan di prasasti batu marmer ataupun besi cor. Makam salah seorang presiden perusahaan VOC yang memiliki papan dari pinus India merupakan salah satu di antaranya.
Beberapa jejak sejarah penting yang masih bisa ditelusuri antara lain, kuburan Gubernur Jenderal Pieter Merkus, satu-satunya pejabat tertinggi di Hindia Belanda yang dimakamkan di Peneleh. Gubernur Jenderal ini meninggalkan teka-teki di akhir hidupnya. Dia merupakan satu-satunya pejabat tertinggi negeri ini (saat itu) yang meninggal pada saat menjabat. Pilihannya untuk pindah ke Surabaya pada saat sakit masih menjadi tanda tanya. Pejabat ke 47 ini lahir di Naarden, 18 Maret 1787 dan meninggal pada 2 Agustus 1844 pada umur 57 tahun.
Prasasti di atas makam Merkus yang berusia hampir 170 tahun masih jelas terbaca. Prasasti tersebut berbahasa Belanda
yang jika diartikan berbunyi : Paduka yang mulia Pieter Merkus, komandan pasukan tempur Hindia, veteran perang
Prancis, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memimpin tanah dan laut harapan Tuhan dan lain-lain. Beliau wafat di
Simpang Huis (Istana Simpang atau Grahadi) 2 Agustus 1844.
Menurut salah satu ahli waris pemuka Belanda yang dimakamkan di Peneleh itu, Rob van de Ven Renardel, keputusan Merkus di akhir hayatnya menimbulkan teka-teki di Sejarah Belanda. Merkus, kata Rob, yang saat itu tinggal di Batavia
memutuskan tinggal di Istana Bogor ketika sakit. “Namun ketika kesehatannya makin buruk dia memilih tinggal di Istana
Simpang di Surabaya,” kata Rob dalam Majalah Monsun, edisi 10 April 1999. Perjalanan di Batavia-Surabaya yang melelahkan hampir sepekan itu justru membuat sakitnya bertambah parah. Ada dugaan Merkus ingin beristirahat sehingga memilih kota panas. Namun ada pandangan lain yang menyakini bahwa Merkus disingkirkan dari kekuasaan dan diasingkan oleh Belanda karena dianggap tidak loyal.
Selain Merkus masih banyak tokoh-tokoh penting lain yang dimakamkan di sini seperti Pendeta pioner Ordo Yesuit di Surabaya, Martinus van den Elsen, yang berada di seberang pintu masuk. Makam puluhan biarawati Jalan Ursulin (Jl Darmo). Komandan perang Indochina, Neubronner van der Tuuk. Bahkan ada pula kuburan Rambaldo, orang pertama yang menjadi penerbang di Hindia. Makam arsitek Jembatan Porong, Ibrahim Simon Heels Berg hingga makam Wakil Kepala Mahkamah Agung, PJN de Perez.
Namun kondisi komplek pemakaman yang tidak terawat menimbulkan keprihatinan tersendiri. Sisa-sisa makam dan prasasti yang berserakan, lingkungan kumuh merupakan sedikit gambaran kondisi makam saat ini. Memang, kompleks ini merupakan makam orang-orang Belanda, namun apa yang ada di dalamnya merupakan sebuah bukti yang bisa menjadi benang merah sejarah keberadaan Kota Surabaya. Sebuah pekerjaan rumah bersama yang harus segera dicari solusinya oleh semua komponen masyarakat Surabaya.
....................




Peneleh merupakan salah satu kawasan asli Kota Surabaya. Nama Peneleh lahir di zaman Kerajaan Singosari. Asal kata "peneleh" berasal dari lokasi ini yang dahulunya merupakan tempat bersemayamnya pangeran pilihan (pinilih), putra Wisnu Wardhana yang memiliki pangkat setara dengan bupati. Pangeran tersebut kemudian diangkat menjadi pemimpin di daerah yang berada antara Sungai Pegirian dan Kalimas ini. Kawasan Peneleh sendiri merupakan salah satu bagian sejarah Kota Surabaya karena di dalamnya memiliki beberapa peninggalan bersejarah diantaranya masjid kuno Peneleh, rumah HOS Cokroaminoto (tempat proklamator Ir. Soekarno tinggal pada saat beliau bersekolah), perkampungan tua, Pasar Peneleh (salah satu tempat di Jawa dimana saat itu buah anggur dapat dibeli) serta Makam Peneleh yang merupakan salah satu makam tertua di Jawa Timur.
Makam Peneleh, merupakan sebuah komplek pemakaman yang dibangun tahun 1814 dan menempati areal seluas 4,5 hektare. Meskipun kondisinya saat ini sangat kumuh dan memprihatinkan, namun masih menyisakan sisa-sisa eksotisme masa lalu. Banyak hal yang bisa digali di dalamnya. Detail ornamen berlanggam gothic dan doric, patung-patung berkarakter Romawi (meskipun sebagian besar sudah tidak dalam kondisi utuh) hanyalah sebagian kecil dari keindahan masa lalu yang masih bisa ditelusuri. Kisah hidup mereka yang meninggal bisa ditemukan di prasasti batu marmer ataupun besi cor. Makam salah seorang presiden perusahaan VOC yang memiliki papan dari pinus India merupakan salah satu di antaranya.
Beberapa jejak sejarah penting yang masih bisa ditelusuri antara lain, kuburan Gubernur Jenderal Pieter Merkus, satu-satunya pejabat tertinggi di Hindia Belanda yang dimakamkan di Peneleh. Gubernur Jenderal ini meninggalkan teka-teki di akhir hidupnya. Dia merupakan satu-satunya pejabat tertinggi negeri ini (saat itu) yang meninggal pada saat menjabat. Pilihannya untuk pindah ke Surabaya pada saat sakit masih menjadi tanda tanya. Pejabat ke 47 ini lahir di Naarden, 18 Maret 1787 dan meninggal pada 2 Agustus 1844 pada umur 57 tahun.
Prasasti di atas makam Merkus yang berusia hampir 170 tahun masih jelas terbaca. Prasasti tersebut berbahasa Belanda
yang jika diartikan berbunyi : Paduka yang mulia Pieter Merkus, komandan pasukan tempur Hindia, veteran perang
Prancis, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memimpin tanah dan laut harapan Tuhan dan lain-lain. Beliau wafat di
Simpang Huis (Istana Simpang atau Grahadi) 2 Agustus 1844.
Menurut salah satu ahli waris pemuka Belanda yang dimakamkan di Peneleh itu, Rob van de Ven Renardel, keputusan Merkus di akhir hayatnya menimbulkan teka-teki di Sejarah Belanda. Merkus, kata Rob, yang saat itu tinggal di Batavia
memutuskan tinggal di Istana Bogor ketika sakit. “Namun ketika kesehatannya makin buruk dia memilih tinggal di Istana
Simpang di Surabaya,” kata Rob dalam Majalah Monsun, edisi 10 April 1999. Perjalanan di Batavia-Surabaya yang melelahkan hampir sepekan itu justru membuat sakitnya bertambah parah. Ada dugaan Merkus ingin beristirahat sehingga memilih kota panas. Namun ada pandangan lain yang menyakini bahwa Merkus disingkirkan dari kekuasaan dan diasingkan oleh Belanda karena dianggap tidak loyal.
Selain Merkus masih banyak tokoh-tokoh penting lain yang dimakamkan di sini seperti Pendeta pioner Ordo Yesuit di Surabaya, Martinus van den Elsen, yang berada di seberang pintu masuk. Makam puluhan biarawati Jalan Ursulin (Jl Darmo). Komandan perang Indochina, Neubronner van der Tuuk. Bahkan ada pula kuburan Rambaldo, orang pertama yang menjadi penerbang di Hindia. Makam arsitek Jembatan Porong, Ibrahim Simon Heels Berg hingga makam Wakil Kepala Mahkamah Agung, PJN de Perez.
Namun kondisi komplek pemakaman yang tidak terawat menimbulkan keprihatinan tersendiri. Sisa-sisa makam dan prasasti yang berserakan, lingkungan kumuh merupakan sedikit gambaran kondisi makam saat ini. Memang, kompleks ini merupakan makam orang-orang Belanda, namun apa yang ada di dalamnya merupakan sebuah bukti yang bisa menjadi benang merah sejarah keberadaan Kota Surabaya. Sebuah pekerjaan rumah bersama yang harus segera dicari solusinya oleh semua komponen masyarakat Surabaya.
Madura Trip
This was a second Madura trip of mine on June 2009. And till end on June, I went Madura three time. And I need once again to come for great experience at eastern of Madura Island. The colleagues and me will go around archipelago by boat or a traditional ship.
Source: facebook note of my friend, Arlene A. Gonzales.
..........................
When my friend earlier mentioned that she was willing for me to tag along on her trip to Madura, I was excited but a bit shy and unwilling to impose. To add to that some of my other friends were discouraging me or asking “why go to Madura?”. Finally, one day before the Suramadu bridge (from Surabaya to Madura) was to be inaugurated by the president, my friend fetched me early at the hotel. Her other colleague was meeting us at the hotel too. The day before, I bought a coolpak, bottled water, juices, biscuits and apples, plus some roti ayam (buns filled with chicken)from Holland Bakery as “baon” for the four of us (including the driver).As they were in a hurry to make it to a meeting, we didn’t have time to stop for breakfast. The air was still cool as we made it to the pier via the toll road, then onto the ferry or RORO for us. We got off the car to go up to the higher levels, while the driver “parked” the car at the lowest level.


There were a lot of interesting sights and sounds on the ferry, with motorcycle riders keeping watch on their bikes and their loads, sellers shouting “Kopi!Kopi!” with different brands of 3-in-1 coffee slung on their baskets together with thin disposable plastic cups. An array of snacks were being peddled, “lontong”, rectangular pieces of sticky rice with a chicken filling sandwiched in between and the whole thing wrapped in banana leaf and steamed, also a conical shaped rice cake akin to our “suman” whose name I forgot. We took a few pictures and enjoyed the view of the sea while watching the different kinds of people on board. Barely 30 minutes after we were already in Madura. We hurried down to the lowest floor where the car was parked and cruised on.
After finishing some business, we continued to go around the island primarily in Bangkalan, its capital. It was like going around the Philippine countryside with the ricefields, cornfields, fishponds. There were a lot of tamarind trees too. The only difference was that instead of thatched roofs or tin roofs the houses, no matter how small, had clay roof tiles on them. I was told that was because galvanized roofing was hard to come by while the clay roof tiles were a cottage industry. My friends took pictures along the way, as much as they possibly could, because it started to rain very hard. Interestingly, rain is “hujan”(with a silent “h”), which sounds like our own “ulan”.
I also noticed that there was a lot of construction of new houses going on. I was curious how come there were a lot of houses clustered together which had a courtyard in the middle. And there were a lot of mosques, big and smaller ones. I was told that parents have usually build a main house and when the children marry, they build more houses near the parents’ house with this kind of layout. Also, if there are several related families in a compound, they usually have or build a small mosque within the compound.
Thankfully the rain let up a little bit. Since we really didn’t have a proper sit-down breakfast, I think we got hungry by 11:30a.m. and we tried to find a place to eat. Since there were hardly any to choose from, my friends settled on a small restaurant which advertised their “gule kambing” on a tarpaulin. It was a no-frills place, but we were thankful for an opportunity to go to a restroom as well. Not being familiar with the food, I let my friends order and they ordered “gule daging sapi” and “sate daging sapi” (beef soup and beef barbecue on sticks),rice and “es the” or iced tea. The sate was a bit tough but well seasoned. The gule had a yellowish, flavorful broth , served with some “sambal” and a few slices of lime and generous chunks of beef meat.
After the meal we tried to find some batteries for the camera and my friends also asked around for the address of the batik makers. Tanjungbumi in Bangkalan is the center of batik making in this area. We were wondering where all the batik makers were as we wanted to watch the batik-making process. My friends told me that usually they would all be out and going about their activities. In one backyard, we saw a “red lady”, meaning her whole body down to her feet looked red, because she was at that time doing the coloring for the red dye in the fabrics. In another backyard we peeped in and saw a woman working with a fabric traced with a design and the hot wax in a small copper pot with an elongated spout for tracing the design in hot wax. We knocked on the door of a house further on in the compound, and it looked as if there was nobody or the people were having a siesta. After a while the door opened and we were ushered into the sala with glass cabinets full of batik. The lady of the house and her assistants proudly showed off their best batik “tulis” meaning handmade or hand printed using the traditional process. They were mostly in shades of brown with flora & fauna motifs though there were some in blue, green, red, orange. There were so many nice designs and I would have wanted to buy almost everything if money was no object. In the end, I settled for a few small table covers in maroon and dark blue, a blue, red and white sarong for myself, a blue monochromatic fabric which I was hoping to use for a formal skirt, and a bright orange cloth I wanted to have sewn into a table runner. In the flurry of choosing some fabrics, we didn’t notice that “Ibu”, our host, had thoughtfully placed three cups of “kopi susu” or coffee with milk on the center table so we drank them thankfully and paid for our batik bounty. We took a souvenir picture then said goodbye, hoping we could come back again at another time.

We continued on the journey back, but not without my friends taking their quota of pictures. We passed thru the seaside with a view of boats and the Suramadu bridge. We got down near the place where the Madura portion of the bridge started. There was a festiveness in the air, with people of all ages strolling around and looking down below at the street where a big white tent was being prepared presumably for the following day’s inauguration by the president. I could not understand their language but their faces and gestures shone with pride and excitement about this new development in their town and in their lives. They were probably proud that their president was coming and they have hope for a better life and a better future for their children.

The “lima kaki”(five legs) or sellers of food in carts were having a heyday, and my friend asked if I wanted to try the “bakso” or meatballs which here were pierced on sticks and you are given a choice of the “kecap manis”(thick sweet soy sauce) or the chili sauce. One of my friends took a stick and I tried one, too. Quiet a bargain for IDR 1,000 (about P4.00) for the 2 sticks.
We were quiet tired by the time we made it back to the pier to take the ferry. We went up to the top level and it was very cold I had to take out my shawl. We posed for a few pictures in the blustery wind, while listening to the afternoon prayers playing on the loudspeaker of another ferry. We decided to go down to the lower levels to get warm. My other friend kept on taking pictures on the way of the Suramadu and a statue of a hero. There were more vendors with their baskets selling “onde-onde” (like our buchi) and a host of other goodies, plus the kopi boys.


There was a long wait for the cars and other vehicles to get out of the ferry, and to add to that we hit rush hour traffic going back to Surabaya. It was already somewhat dark when I got back to the hotel, tired but thankful for another day of bonding with new friends and knowing more about their country, their people and their culture.
Source: facebook note of my friend, Arlene A. Gonzales.
..........................
When my friend earlier mentioned that she was willing for me to tag along on her trip to Madura, I was excited but a bit shy and unwilling to impose. To add to that some of my other friends were discouraging me or asking “why go to Madura?”. Finally, one day before the Suramadu bridge (from Surabaya to Madura) was to be inaugurated by the president, my friend fetched me early at the hotel. Her other colleague was meeting us at the hotel too. The day before, I bought a coolpak, bottled water, juices, biscuits and apples, plus some roti ayam (buns filled with chicken)from Holland Bakery as “baon” for the four of us (including the driver).As they were in a hurry to make it to a meeting, we didn’t have time to stop for breakfast. The air was still cool as we made it to the pier via the toll road, then onto the ferry or RORO for us. We got off the car to go up to the higher levels, while the driver “parked” the car at the lowest level.


There were a lot of interesting sights and sounds on the ferry, with motorcycle riders keeping watch on their bikes and their loads, sellers shouting “Kopi!Kopi!” with different brands of 3-in-1 coffee slung on their baskets together with thin disposable plastic cups. An array of snacks were being peddled, “lontong”, rectangular pieces of sticky rice with a chicken filling sandwiched in between and the whole thing wrapped in banana leaf and steamed, also a conical shaped rice cake akin to our “suman” whose name I forgot. We took a few pictures and enjoyed the view of the sea while watching the different kinds of people on board. Barely 30 minutes after we were already in Madura. We hurried down to the lowest floor where the car was parked and cruised on.
After finishing some business, we continued to go around the island primarily in Bangkalan, its capital. It was like going around the Philippine countryside with the ricefields, cornfields, fishponds. There were a lot of tamarind trees too. The only difference was that instead of thatched roofs or tin roofs the houses, no matter how small, had clay roof tiles on them. I was told that was because galvanized roofing was hard to come by while the clay roof tiles were a cottage industry. My friends took pictures along the way, as much as they possibly could, because it started to rain very hard. Interestingly, rain is “hujan”(with a silent “h”), which sounds like our own “ulan”.
I also noticed that there was a lot of construction of new houses going on. I was curious how come there were a lot of houses clustered together which had a courtyard in the middle. And there were a lot of mosques, big and smaller ones. I was told that parents have usually build a main house and when the children marry, they build more houses near the parents’ house with this kind of layout. Also, if there are several related families in a compound, they usually have or build a small mosque within the compound.
Thankfully the rain let up a little bit. Since we really didn’t have a proper sit-down breakfast, I think we got hungry by 11:30a.m. and we tried to find a place to eat. Since there were hardly any to choose from, my friends settled on a small restaurant which advertised their “gule kambing” on a tarpaulin. It was a no-frills place, but we were thankful for an opportunity to go to a restroom as well. Not being familiar with the food, I let my friends order and they ordered “gule daging sapi” and “sate daging sapi” (beef soup and beef barbecue on sticks),rice and “es the” or iced tea. The sate was a bit tough but well seasoned. The gule had a yellowish, flavorful broth , served with some “sambal” and a few slices of lime and generous chunks of beef meat.
After the meal we tried to find some batteries for the camera and my friends also asked around for the address of the batik makers. Tanjungbumi in Bangkalan is the center of batik making in this area. We were wondering where all the batik makers were as we wanted to watch the batik-making process. My friends told me that usually they would all be out and going about their activities. In one backyard, we saw a “red lady”, meaning her whole body down to her feet looked red, because she was at that time doing the coloring for the red dye in the fabrics. In another backyard we peeped in and saw a woman working with a fabric traced with a design and the hot wax in a small copper pot with an elongated spout for tracing the design in hot wax. We knocked on the door of a house further on in the compound, and it looked as if there was nobody or the people were having a siesta. After a while the door opened and we were ushered into the sala with glass cabinets full of batik. The lady of the house and her assistants proudly showed off their best batik “tulis” meaning handmade or hand printed using the traditional process. They were mostly in shades of brown with flora & fauna motifs though there were some in blue, green, red, orange. There were so many nice designs and I would have wanted to buy almost everything if money was no object. In the end, I settled for a few small table covers in maroon and dark blue, a blue, red and white sarong for myself, a blue monochromatic fabric which I was hoping to use for a formal skirt, and a bright orange cloth I wanted to have sewn into a table runner. In the flurry of choosing some fabrics, we didn’t notice that “Ibu”, our host, had thoughtfully placed three cups of “kopi susu” or coffee with milk on the center table so we drank them thankfully and paid for our batik bounty. We took a souvenir picture then said goodbye, hoping we could come back again at another time.

We continued on the journey back, but not without my friends taking their quota of pictures. We passed thru the seaside with a view of boats and the Suramadu bridge. We got down near the place where the Madura portion of the bridge started. There was a festiveness in the air, with people of all ages strolling around and looking down below at the street where a big white tent was being prepared presumably for the following day’s inauguration by the president. I could not understand their language but their faces and gestures shone with pride and excitement about this new development in their town and in their lives. They were probably proud that their president was coming and they have hope for a better life and a better future for their children.

The “lima kaki”(five legs) or sellers of food in carts were having a heyday, and my friend asked if I wanted to try the “bakso” or meatballs which here were pierced on sticks and you are given a choice of the “kecap manis”(thick sweet soy sauce) or the chili sauce. One of my friends took a stick and I tried one, too. Quiet a bargain for IDR 1,000 (about P4.00) for the 2 sticks.
We were quiet tired by the time we made it back to the pier to take the ferry. We went up to the top level and it was very cold I had to take out my shawl. We posed for a few pictures in the blustery wind, while listening to the afternoon prayers playing on the loudspeaker of another ferry. We decided to go down to the lower levels to get warm. My other friend kept on taking pictures on the way of the Suramadu and a statue of a hero. There were more vendors with their baskets selling “onde-onde” (like our buchi) and a host of other goodies, plus the kopi boys.


There was a long wait for the cars and other vehicles to get out of the ferry, and to add to that we hit rush hour traffic going back to Surabaya. It was already somewhat dark when I got back to the hotel, tired but thankful for another day of bonding with new friends and knowing more about their country, their people and their culture.
Tuesday, 19 May 2009
BERKELILING PULAU MADURA
Perjalanan mengelilingi Pulau Madura pertama kali selama 34 jam dengan rute:
ITS - Galaksi - Kamal - Tanjung Bumi - Pantai Slopeng - Sumenep - Pamekasan - Sampang - Pamekasan - Sumenep - Kampung Batik Madura Klapar Pamekasan - Sampang - Kamal - Perak - Benowo.

Kepulauan Madura terdiri dari satu pulau besar bernama Madura dan 127 pulau kecil baik berpenghuni maupun tidak. Sebagian besar pulau-pulau kecil tersebut terletak di Kabupaten Sumenep.
MAsjid Agung Sumenep merupakan salah satu tempat wisata religi di kawasan ini. Masjid ini terletak di tengah kota Sumenep (depan alun-alun kota). Hal ini mengingatkan pada bentuk kota di Jawa dimana alun-alun dikelilingi oleh pusat pemerintahan, pusat perekenomian, dan tempat ibadah.

Terlihat penumpang yang baru saja turun dari feri. Sepertinya mereka merupakan rombongan pengiring pengantin. Terlihat salah satu seserahan yang telah dihias dengan kertas warna-warni.
Perjalanan yang ketiga adalah mengelilingi Madura mulai dari Benowo - ITS - jembatan Suramadu - Sampang - Camplong - Pamekasan - Kampung Batik Klapar - Kalianget - Sumenep - Pantai Lombang - Pantai Slopeng - Tanjung Bumi - Bangkalan - jembatan Suramadu - ITS - Benowo. Perjalanan ditempuh selama 16 jam yang melelahkan.
Dari semua perjalanan di Madura yang pernah kulakukan, ada beberapa hal menarik yang patut didiskusikan lebih lanjut.
Pertama adalah infrastruktur transportasi. Secara umum sudah terdapat jalan yang mengelilingi pulau, akan tetapi terdapat perbedaan kondisi yang signifikan antara jalur selatan dan utara. Jalur selatan relatif lebih baik dibandingkan jalur utara. Padahal pemandangan laut di sepanjang utara begitu menakjubkan. Apalagi kalau dapat mengabadikan sunset dari perjalanan di jalur ini. Woow begitu menakjubkan. Sepertinya jalur yang mengelilingi pulau ini sudah ada sejak lebih dari satu abad lalu. Terdapat penanda pohon asam yang kira-kira telah berusia diatas 60 tahun. Pohon ini aku temui disepanjang jalur, baik pada jalan dengan kondisi bagus maupun jelek.
Apabila kita masuk Kota Bangkalan dari arah Kamal, akan menemui jalan kembar dimana pohon asamnya telah hilang. Sangat disayangkan sekali. Mengapa pohon tersebut tidak dipindahkan ke pinggir?
Sebagian besar bangunan permukiman yang kutemui merupakan bangunan baru dengan gaya adopsi luar negeri. Walaupun bangunan tersebut baru, akan tetapi memiliki kesamaan dengan kebiasaan dan bentuk rumah asal. Rumah tersebut pasti memiliki teras yang relatif luas dengan kursi dan meja untuk menerima tamu. Biasanya tamu laki-laki diterima di teras ini. Apabila tamu tersebut dengan perempuan, maka akan diterima di dalam rumah. Yang menarik bagiku adalah beragamnya bentuk dan jenis kursi dan meja yang ada di teras tersebut. Mulai dari sofa dari kain maupun kayu, kursi dan meja makan, maupun hanya deretan kursi-kursi.
Hal ketiga yang menarik adalah keberadaan kampung-kampung batik. Yang dimaksud kampung batik adalah sebuah perkampungan dimana mata pencaharian penduduknya adalah menggantungkan diri dari bisnis batik. Mulai dari proses penggambaran, membatik, mewarna, pemasaran, sampai dengan promosi. Kampung batik yang kukunjungi adalah Tanjung Bumi (Bangkalan) dan Klapar. Aku telah 3 kali ke kampung batik Klapar di Pamekasan. Motif batik Tanjung Bumi lebih besar bentuknya dibandingkan Klapar. Adapun harganya relatif sama.

Kondisi pasar Camplong (Sampang) dengan delman di depannya. Camplong terkenal dengan pantainya dan jambu air putih yang disebut jambu Camplong. Akan tetapi apabila kita membeli di supermarket di Surabaya disebut Jambu Madura.

Kondisi jalan dan lalu lintas di dekat alun-alun Kota Pamekasan.


Kondisi pelabuhan Kalianget (Sumenep). Pelabuhan ini melayani jalur perdagangan dan transportasi antar pulau di sekitar Sumenep maupun ke seluruh wilayah Indonesia. Terdapat feri yang melayani jalur Kalianget - Situbondo. Jalur ini ditempuh selama kurang lebih 2 jam.

Kondisi pantai selatan pulau Madura. Terdapat pohon bakau yang usianya masih relatif muda. Disamping itu terlihat tempat eksplorasi minyak di laut lepas.

Kondisi pantai utara pulau Madura dengan pasir putihnya. Akan tetapi secara keseluruhan tidak terdapat pasir putih disepanjang pantai pulau Madura. Hanya terdapat sebagian kecil pantai dengan pasir putih.

Suasana malam hari Jemabatan Suramadu arah Surabaya. Banyak terdapat penjual makanan di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) baik sisi Madura dan Surabaya. Disamping itu terlihat orang menyeberang jalan di jembatan, sepeda atau mobil yang putar balik tidak pada tempatnya. Serta hal-hal lain di luar ketentuan yang berlaku di jalan tol.
ITS - Galaksi - Kamal - Tanjung Bumi - Pantai Slopeng - Sumenep - Pamekasan - Sampang - Pamekasan - Sumenep - Kampung Batik Madura Klapar Pamekasan - Sampang - Kamal - Perak - Benowo.
Kepulauan Madura terdiri dari satu pulau besar bernama Madura dan 127 pulau kecil baik berpenghuni maupun tidak. Sebagian besar pulau-pulau kecil tersebut terletak di Kabupaten Sumenep.
MAsjid Agung Sumenep merupakan salah satu tempat wisata religi di kawasan ini. Masjid ini terletak di tengah kota Sumenep (depan alun-alun kota). Hal ini mengingatkan pada bentuk kota di Jawa dimana alun-alun dikelilingi oleh pusat pemerintahan, pusat perekenomian, dan tempat ibadah.
Terlihat penumpang yang baru saja turun dari feri. Sepertinya mereka merupakan rombongan pengiring pengantin. Terlihat salah satu seserahan yang telah dihias dengan kertas warna-warni.
Perjalanan yang ketiga adalah mengelilingi Madura mulai dari Benowo - ITS - jembatan Suramadu - Sampang - Camplong - Pamekasan - Kampung Batik Klapar - Kalianget - Sumenep - Pantai Lombang - Pantai Slopeng - Tanjung Bumi - Bangkalan - jembatan Suramadu - ITS - Benowo. Perjalanan ditempuh selama 16 jam yang melelahkan.
Dari semua perjalanan di Madura yang pernah kulakukan, ada beberapa hal menarik yang patut didiskusikan lebih lanjut.
Pertama adalah infrastruktur transportasi. Secara umum sudah terdapat jalan yang mengelilingi pulau, akan tetapi terdapat perbedaan kondisi yang signifikan antara jalur selatan dan utara. Jalur selatan relatif lebih baik dibandingkan jalur utara. Padahal pemandangan laut di sepanjang utara begitu menakjubkan. Apalagi kalau dapat mengabadikan sunset dari perjalanan di jalur ini. Woow begitu menakjubkan. Sepertinya jalur yang mengelilingi pulau ini sudah ada sejak lebih dari satu abad lalu. Terdapat penanda pohon asam yang kira-kira telah berusia diatas 60 tahun. Pohon ini aku temui disepanjang jalur, baik pada jalan dengan kondisi bagus maupun jelek.
Apabila kita masuk Kota Bangkalan dari arah Kamal, akan menemui jalan kembar dimana pohon asamnya telah hilang. Sangat disayangkan sekali. Mengapa pohon tersebut tidak dipindahkan ke pinggir?
Sebagian besar bangunan permukiman yang kutemui merupakan bangunan baru dengan gaya adopsi luar negeri. Walaupun bangunan tersebut baru, akan tetapi memiliki kesamaan dengan kebiasaan dan bentuk rumah asal. Rumah tersebut pasti memiliki teras yang relatif luas dengan kursi dan meja untuk menerima tamu. Biasanya tamu laki-laki diterima di teras ini. Apabila tamu tersebut dengan perempuan, maka akan diterima di dalam rumah. Yang menarik bagiku adalah beragamnya bentuk dan jenis kursi dan meja yang ada di teras tersebut. Mulai dari sofa dari kain maupun kayu, kursi dan meja makan, maupun hanya deretan kursi-kursi.
Hal ketiga yang menarik adalah keberadaan kampung-kampung batik. Yang dimaksud kampung batik adalah sebuah perkampungan dimana mata pencaharian penduduknya adalah menggantungkan diri dari bisnis batik. Mulai dari proses penggambaran, membatik, mewarna, pemasaran, sampai dengan promosi. Kampung batik yang kukunjungi adalah Tanjung Bumi (Bangkalan) dan Klapar. Aku telah 3 kali ke kampung batik Klapar di Pamekasan. Motif batik Tanjung Bumi lebih besar bentuknya dibandingkan Klapar. Adapun harganya relatif sama.
Kondisi pasar Camplong (Sampang) dengan delman di depannya. Camplong terkenal dengan pantainya dan jambu air putih yang disebut jambu Camplong. Akan tetapi apabila kita membeli di supermarket di Surabaya disebut Jambu Madura.
Kondisi jalan dan lalu lintas di dekat alun-alun Kota Pamekasan.
Kondisi pelabuhan Kalianget (Sumenep). Pelabuhan ini melayani jalur perdagangan dan transportasi antar pulau di sekitar Sumenep maupun ke seluruh wilayah Indonesia. Terdapat feri yang melayani jalur Kalianget - Situbondo. Jalur ini ditempuh selama kurang lebih 2 jam.
Kondisi pantai selatan pulau Madura. Terdapat pohon bakau yang usianya masih relatif muda. Disamping itu terlihat tempat eksplorasi minyak di laut lepas.
Kondisi pantai utara pulau Madura dengan pasir putihnya. Akan tetapi secara keseluruhan tidak terdapat pasir putih disepanjang pantai pulau Madura. Hanya terdapat sebagian kecil pantai dengan pasir putih.
Suasana malam hari Jemabatan Suramadu arah Surabaya. Banyak terdapat penjual makanan di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS) baik sisi Madura dan Surabaya. Disamping itu terlihat orang menyeberang jalan di jembatan, sepeda atau mobil yang putar balik tidak pada tempatnya. Serta hal-hal lain di luar ketentuan yang berlaku di jalan tol.
Sunday, 17 May 2009
TIPOLOGI PARTISIPASI MASYARAKAT KELURAHAN SUKOLILO, KEC BULAK KOTA SURABAYA DALAM PERBAIKAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH
Dalam menyusun konsep partisipasi masyarakat dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo Kec Bulak Kota Surabaya maka diperlukan pengelompokkan/ klasifikasi partisipasi masyarakat. Kelompok/klasifikasi tersebut selanjutnya disebut tipologi partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh. Sesuai dengan sintesa kajian pustaka, maka tipologi partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh terdiri dari:
1. Karakteristik masyarakat Kelurahan Sukolilo
2. Partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh
3. Hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh
4. Preferensi partisipasi masyarakat dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo.
Sehingga didapatkan 4 tipologi partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh seperti dibawah ini.
A. Tipologi pertama
Yang termasuk dalam tipologi ini adalah seluruh masyarakat yang memiliki pekerjaaan sebagai nelayan dan guru yang tinggal di rumah milik sendiri. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan sesuai dengan preferensinya, yaitu rendah. Masyarakat nelayan dan guru yang tinggal di rumah sendiri menyatakan bahwa faktor sosial dan pendidikan merupakan penghambat pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo. Disamping itu, nelayan dan guru yang tinggal di rumah milik sendiri menginginkan masyarakat menentukan sendiri segala keputusan yang berhubungan dengan perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan.
Tipologi ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan dan guru yang tinggal di rumah sendiri memiliki bentuk partisipasi yang menggambarkan kerjasama antar pihak dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh. Disamping itu, preferensi bentuk partisipasi pada perencanaan masih menggambarkan bentuk semu. Akan tetapi preferensi bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan telah menggambarkan proses pemberdayaan. Hal ini diperkuat dengan preferensi pihak pengambil keputusannya adalah masyarakat sendiri. Perbedaan antara partisipasi yang dilakukan dengan preferensinya disebabkan oleh faktor sosial dan latar belakang pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Walaupun sebenarnya preferensi kedalaman partisipasinya adalah rendah. Memperhatikan segala preferensi dan yang telah dilakukan oleh masyarakat tipologi ini, maka dapat disebutkan bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah rendah atau partisipasi pasif, namun memiliki preferensi tingkat kedalaman yang tinggi atau partisipasi aktif.
B. Tipologi kedua
Masyarakat Kelurahan Sukolilo yang termasuk dalam tipologi partisipasi kedua ini adalah buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sendiri. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga dan tidak berpartisipasi. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan sesuai dengan preferensinya, yaitu rendah. Hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat pada tipologi kedua ini adalah faktor sosial dan latar belakang pendidikan masyarakat. Preferensi pihak yang menentukan pada proses partisipasi adalah kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah adalah untuk menyediakan dana dan mendampingi masyarakat dalam merumuskan program perbaikan kawasan permukiman kumuh. Sedangkan peran masyarakat adalah untuk mengidentifikasi permasalahan dan potensi yang ada di Kelurahan Sukolilo. Disamping itu masyarakat memiliki suara menentukan seluruh tahapan program.
Tipologi kedua ini menunjukkan bahwa buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sendiri memiliki bentuk partisipasi yang menggambarkan antara bentuk semu dan kerjasama. Preferensi bentuk partisipasi pada tahap perencanaan menggambarkan bentuk semu. Sedangkan pada tahap pelaksanaan sudah menggambarkan proses pemberdayaan. Akan tetapi proses pemberdayaannya tidak sekuat pada tipologi pertama karena masih menginginkan keterlibatan pemerintah pada seluruh tahapan proses partisipasi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat pada tipologi kedua adalah rendah atau partisipasi pasif. Namun preferensi partisipasi masyarakatnya adalah sedang atau partisipasi semu.
C. Tipologi ketiga
Masyarakat Kelurahan Sukolilo yang termasuk dalam tipologi partisipasi ketiga ini adalah buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sewa dan menumpang. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga dan tidak berpartisipasi. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah bervariasi mulai dari rendah sampai dengan sedang. Preferensi tingkat kedalaman partisipasinya adalah rendah. Sebagaimana pada tipologi sebelumnya, maka hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat pada tipologi ketiga ini juga faktor sosial dan latar belakang pendidikan masyarakat. Sesuai dengan preferensi pihak yang menentukan pada tipologi kedua, maka pada tipologi ini juga menginginkan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam proses perbaikan kawasan permukiman kumuh.
Tipologi ketiga ini menunjukkan bahwa buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sewa dan menumpang memiliki bentuk partisipasi bervariasi yaitu mulai partisipasi yang menggambarkan bentuk semu sampai dengan praktik kerjasama. Preferensi bentuk partisipasi pada tahap perencanaan menggambarkan bentuk semu. Sedangkan pada tahap pelaksanaan sudah menggambarkan proses pemberdayaan. Sebagaimana pada tipologi kedua, maka proses pemberdayaan juga tidak kuat karena masih menginginkan keterlibatan pemerintah pada seluruh tahapan proses partisipasi masyarakat. Disamping itu dapat dikatakan juga bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat pada tipologi ketiga adalah bervariasi antara rendah (partisipasi pasif) sampai dengan sedang (partisipasi semu). Namun preferensi partisipasi masyarakatnya adalah rendah atau partisipasi pasif.
D. Tipologi keempat
Masyarakat Kelurahan Sukolilo yang termasuk dalam tipologi partisipasi keempat adalah buruh, pengusaha swasta, karyawan dan guru yang tinggal di tanah sewa. Guru yang tinggal di rumah sewa dan menumpang juga termasuk dalam tipologi ini. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah bervariasi mulai dari rendah sampai dengan sedang. Preferensi tingkat kedalaman partisipasinya adalah sedang. Hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat pada tipologi keempat ini adalah faktor kondisi perekonomian masyarakat, sosial kehidupannya serta latar belakang pendidikan masyarakat. Disamping itu, masyarakat tipologi keempat ini menginginkan masyarakat menentukan sendiri segala keputusan yang berhubungan dengan perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan.
Tipologi partisipasi keempat ini menunjukkan bahwa masyarakatnya telah memiliki bentuk partisipasi yang menggambarkan kerjasama antar pihak dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh. Disamping itu, preferensi bentuk partisipasi pada perencanaan masih menggambarkan bentuk semu. Akan tetapi preferensi bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan telah menggambarkan proses pemberdayaan. Hal ini diperkuat dengan preferensi pihak pengambil keputusannya adalah masyarakat sendiri. Faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan partisipasi sehingga terdapat perbedaan antara partisipasi yang dilakukan dengan preferensinya adalah kondisi sosial, ekonomi, dan latar belakang pendidikan. Memperhatikan segala preferensi dan yang telah dilakukan oleh masyarakat tipologi keempat ini, maka dapat disebutkan bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah bervariasi mulai dari rendah (partisipasi pasif) sampai dengan sedang (partisipasi semu), namun memiliki preferensi tingkat kedalaman sedang (partisipasi semu).
1. Karakteristik masyarakat Kelurahan Sukolilo
2. Partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh
3. Hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh
4. Preferensi partisipasi masyarakat dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo.
Sehingga didapatkan 4 tipologi partisipasi masyarakat Kelurahan Sukolilo dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh seperti dibawah ini.
A. Tipologi pertama
Yang termasuk dalam tipologi ini adalah seluruh masyarakat yang memiliki pekerjaaan sebagai nelayan dan guru yang tinggal di rumah milik sendiri. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan sesuai dengan preferensinya, yaitu rendah. Masyarakat nelayan dan guru yang tinggal di rumah sendiri menyatakan bahwa faktor sosial dan pendidikan merupakan penghambat pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo. Disamping itu, nelayan dan guru yang tinggal di rumah milik sendiri menginginkan masyarakat menentukan sendiri segala keputusan yang berhubungan dengan perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan.
Tipologi ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan dan guru yang tinggal di rumah sendiri memiliki bentuk partisipasi yang menggambarkan kerjasama antar pihak dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh. Disamping itu, preferensi bentuk partisipasi pada perencanaan masih menggambarkan bentuk semu. Akan tetapi preferensi bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan telah menggambarkan proses pemberdayaan. Hal ini diperkuat dengan preferensi pihak pengambil keputusannya adalah masyarakat sendiri. Perbedaan antara partisipasi yang dilakukan dengan preferensinya disebabkan oleh faktor sosial dan latar belakang pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Walaupun sebenarnya preferensi kedalaman partisipasinya adalah rendah. Memperhatikan segala preferensi dan yang telah dilakukan oleh masyarakat tipologi ini, maka dapat disebutkan bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah rendah atau partisipasi pasif, namun memiliki preferensi tingkat kedalaman yang tinggi atau partisipasi aktif.
B. Tipologi kedua
Masyarakat Kelurahan Sukolilo yang termasuk dalam tipologi partisipasi kedua ini adalah buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sendiri. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga dan tidak berpartisipasi. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan sesuai dengan preferensinya, yaitu rendah. Hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat pada tipologi kedua ini adalah faktor sosial dan latar belakang pendidikan masyarakat. Preferensi pihak yang menentukan pada proses partisipasi adalah kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah adalah untuk menyediakan dana dan mendampingi masyarakat dalam merumuskan program perbaikan kawasan permukiman kumuh. Sedangkan peran masyarakat adalah untuk mengidentifikasi permasalahan dan potensi yang ada di Kelurahan Sukolilo. Disamping itu masyarakat memiliki suara menentukan seluruh tahapan program.
Tipologi kedua ini menunjukkan bahwa buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sendiri memiliki bentuk partisipasi yang menggambarkan antara bentuk semu dan kerjasama. Preferensi bentuk partisipasi pada tahap perencanaan menggambarkan bentuk semu. Sedangkan pada tahap pelaksanaan sudah menggambarkan proses pemberdayaan. Akan tetapi proses pemberdayaannya tidak sekuat pada tipologi pertama karena masih menginginkan keterlibatan pemerintah pada seluruh tahapan proses partisipasi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat pada tipologi kedua adalah rendah atau partisipasi pasif. Namun preferensi partisipasi masyarakatnya adalah sedang atau partisipasi semu.
C. Tipologi ketiga
Masyarakat Kelurahan Sukolilo yang termasuk dalam tipologi partisipasi ketiga ini adalah buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sewa dan menumpang. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga dan tidak berpartisipasi. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah bervariasi mulai dari rendah sampai dengan sedang. Preferensi tingkat kedalaman partisipasinya adalah rendah. Sebagaimana pada tipologi sebelumnya, maka hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat pada tipologi ketiga ini juga faktor sosial dan latar belakang pendidikan masyarakat. Sesuai dengan preferensi pihak yang menentukan pada tipologi kedua, maka pada tipologi ini juga menginginkan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam proses perbaikan kawasan permukiman kumuh.
Tipologi ketiga ini menunjukkan bahwa buruh, pengusaha swasta, dan karyawan yang tinggal di rumah sewa dan menumpang memiliki bentuk partisipasi bervariasi yaitu mulai partisipasi yang menggambarkan bentuk semu sampai dengan praktik kerjasama. Preferensi bentuk partisipasi pada tahap perencanaan menggambarkan bentuk semu. Sedangkan pada tahap pelaksanaan sudah menggambarkan proses pemberdayaan. Sebagaimana pada tipologi kedua, maka proses pemberdayaan juga tidak kuat karena masih menginginkan keterlibatan pemerintah pada seluruh tahapan proses partisipasi masyarakat. Disamping itu dapat dikatakan juga bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat pada tipologi ketiga adalah bervariasi antara rendah (partisipasi pasif) sampai dengan sedang (partisipasi semu). Namun preferensi partisipasi masyarakatnya adalah rendah atau partisipasi pasif.
D. Tipologi keempat
Masyarakat Kelurahan Sukolilo yang termasuk dalam tipologi partisipasi keempat adalah buruh, pengusaha swasta, karyawan dan guru yang tinggal di tanah sewa. Guru yang tinggal di rumah sewa dan menumpang juga termasuk dalam tipologi ini. Bentuk partisipasi yang dilakukan adalah tenaga. Sedangkan preferensi bentuknya adalah tidak berpartipasi serta gabungan antara tenaga dan materi. Tingkat kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah bervariasi mulai dari rendah sampai dengan sedang. Preferensi tingkat kedalaman partisipasinya adalah sedang. Hambatan pelaksanaan partisipasi masyarakat pada tipologi keempat ini adalah faktor kondisi perekonomian masyarakat, sosial kehidupannya serta latar belakang pendidikan masyarakat. Disamping itu, masyarakat tipologi keempat ini menginginkan masyarakat menentukan sendiri segala keputusan yang berhubungan dengan perbaikan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Sukolilo, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan.
Tipologi partisipasi keempat ini menunjukkan bahwa masyarakatnya telah memiliki bentuk partisipasi yang menggambarkan kerjasama antar pihak dalam perbaikan kawasan permukiman kumuh. Disamping itu, preferensi bentuk partisipasi pada perencanaan masih menggambarkan bentuk semu. Akan tetapi preferensi bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan telah menggambarkan proses pemberdayaan. Hal ini diperkuat dengan preferensi pihak pengambil keputusannya adalah masyarakat sendiri. Faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan partisipasi sehingga terdapat perbedaan antara partisipasi yang dilakukan dengan preferensinya adalah kondisi sosial, ekonomi, dan latar belakang pendidikan. Memperhatikan segala preferensi dan yang telah dilakukan oleh masyarakat tipologi keempat ini, maka dapat disebutkan bahwa kedalaman partisipasi yang dilakukan adalah bervariasi mulai dari rendah (partisipasi pasif) sampai dengan sedang (partisipasi semu), namun memiliki preferensi tingkat kedalaman sedang (partisipasi semu).
KATA PENGANTAR
POST INI MERUPAKAN KATA PENGANTAR PADA TESIS KU DENGAN JUDUL:
KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI KELURAHAN SUKOLILO KECAMATAN BULAK KOTA SURABAYA
Penelitian ini merupakan bagian akhir dari sebuah proses panjang untuk menyelesaikan pendidikan magister di bidang Manajemen Pembangunan Kota Program Pascasarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Seluruh proses penelitian dan penulisan ini dapat terjadi hanya karena ketetapan dan ridho Allah SWT semata. Puji syukur ke hadirat-Nya atas segala kenikmatan dan anugrah yang telah dicurahkan sampai dengan saat ini sehingga semua kerikil dan rintangan teratasi.
Proses penelitian ini merupakan sebuah jalan panjang yang ditempuh selama 8 bulan antara Agustus 2008 sampai dengan April 2009. Dalam rentang waktu tersebut, penulis menjumpai banyak pihak yang berperan membantu untuk menyelesaikan penelitian ini. Penulis dapat diibaratkan hanyalah sebuah noktah di dalam sebuah kosmos apabila tanpa peran mereka yang membanggakan. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, penulis ingin menyampaikan terimakasih dari lubuk hati paling dalam kepada:
1. Yth keluarga besar saya - orang tua, mertua, adik, ipar, sepupu serta keluarga yang lain. Terimakasih tak terhingga atas kasih sayang, perhatian dan doa-doanya. Saya bangga dan bahagia menjadi bagian keluarga ini.
2. Yth Bapak Ir. Ispurwono Soemarno, MArch, PhD dan Bapak Putu Gde Ariastita, ST, MT. Terimakasih dari hati terdalam atas kesediaan meluangkan waktu untuk membaca dengan teliti berkas penelitian serta mencermati, mengkritisi, dan memberi masukan pada proses penelitian dan penyusunan tesis ini sebagai pembimbing.
3. Yth Ibu Dr Ir Rima Dewi Supriharjo, MIP, Bapak Ir Sardjito, MT, dan Ibu Dr Eng Ir Sri Nastiti NE, MT. Terimakasih atas kesediaan untuk menguji dan mengkritisi guna kesempurnaan tesis ini sebagai penguji. Disamping itu juga disampaikan terimakasih kepada Yth Ibu Ima Defiana ST, MT yang bersedia sebagai penguji pada sidang proposal dan preview tesis pertama.
4. Yth Dr. Ir. Haryo Sulistyarso. Terimakasih atas wawasan dan wacananya selama masa perkuliahan selaku dosen wali.
5. Yth Ir. Muhammad Faqih MSA, PhD. Terimakasih atas pengaturan sistem selama masa perkuliahan selaku Kaprodi Pascasarjana Arsitektur
6. Yth seluruh dosen Arsitektur dan Manajemen Pembangunan Kota. Terimakasih atas ruang dan kesempatan untuk mengecap dan membentuk atmosfir akademis. Tak lupa terucap terimakasih kepada para staf dan karyawan di kedua jurusan tersebut untuk mewujudkan atmosfir akademis tersebut.
7. Yth seluruh dosen, staf, dan peneliti di Laboratorium Perumahan dan Permukiman Jurusan Arsitektur ITS. Terimakasih yang tulus atas dukungan materi, sarana, prasarana, dan waktu hingga terselesaikannya penelitian ini. Disamping itu juga terimakasih yang mendalam untuk Bapak Ir. Hasian Siregar, MT selaku Direksi CV Etika Prana. Terimakasih atas kesediaannya mengeluarkan surat rekomendasi saat pendaftaran
kuliah ini.
8. Yth seluruh responden dan stakeholder yang berpengaruh dalam penelitian ini. Masyarakat Kelurahan Sukolilo, para Ketua RT dan RW, Ketua BKM, Pak Lurah Sukolilo dan staf, Pelaksana Teknis NUSSP, Sub dan Dinas Permukiman Tata Kota Surabaya, Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. Terimakasih atas sumbangan data, opini dan pendapatnya sehingga penulis dapat memenuhi kecukupan data pada penelitian ini. Penulis memperoleh kesempatan yang membanggakan dalam meneliti partisipasi masyarakat di wilayah ini.
9. Yth Departemen Pendidikan Nasional melalui Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri. Dimana memberikan kesempatan pembiayaan Program Beasiswa Unggulan guna menyelesaikan pendidikan pada Program Pascasarjana Arsitektur bidang Manajemen Pembangunan Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Berdasarkan DIPA Sekretariat
Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Periode Anggaran September 2007 sampai Pebruari 2009).
10. Yth Ema Umilia, ST. Terimakasih yang tak terhingga atas bantuannya untuk menyederhanakan bahasa penelitian yang rumit dan berbeda akibat latar belakang yang telah terbentuk sebelumnya.
11. Yth Teman-teman MPK angkatan 20007, baik penerima maupun tidak penerima Beasiswa Unggulan Depdiknas (Batch 3). Widya, Sukma, Son, Dee, Alies, Yayak, Erika, Pak Kunc, Ageng, Arief, Pak Sad, Pak Cam, Pak Fajar, Unik, Nining, Rutjah, Nopie, Arofah, dan Reeta. Terimakasih atas suasana, semangat, kekerabatan, dan segala memori yang membekas selama bersama melalui proses ini. Semoga ilmu yang diperoleh memberi manfaat bagi kehidupan.
12. Terimakasih tak terhingga buat segala sesuatu yang telah dan akan menjadi inspirasi serta warna dalam kehidupan penulis.
13. Ungkapan terakhir adalah terimakasih yang tak terhingga serta hormat mendalam bagi seseorang yang selama hampir dua pertiga hidupku selalu berdiri disampingku. Yth suamiku, Soeyono. Terimakasih atas segala pengertian dan toleransi yang mendalam atas segala kegiatan dan kesibukanku selama ini. Akan menjadi lebih berarti beriringan dengan dengan dirimu. Juga ungkapan sayang tak terhingga buat kedua buah hati kami, Dadan Giri Prayudha (alm) dan Tika Arining Wardhani (alm). Terimakasih telah bersedia mampir walau sebentar guna menggoreskan kuas warna pelangi kehidupan.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penulis hanyalah sebuah noktah yang jauh dari kesempurnaan pada sebuah sistem. Demikian juga yang terjadi pada tesis ini yaitu jauh dari kesempurnaan yang berjalan beriringan sesuai dengan ketidaksempurnaan penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik serta saran guna menyempurnakan tesis ini.
Akhirnya, segala kekurangan dan ketidaksempurnaan proses serta hasil penelitian ini adalah tanggung jawab penulis. Namun apabila dikemudian hari ditemukan sebuah kebenaran dalam tesis ini hanya semata ridho Allah SWT sang Maha Sempurna. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kehidupan dan penghidupan umat manusia. Terimakasih.
Surabaya, April 2009
Penulis
Andarita Rolalisasi
3207 205 707
KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI KELURAHAN SUKOLILO KECAMATAN BULAK KOTA SURABAYA
Penelitian ini merupakan bagian akhir dari sebuah proses panjang untuk menyelesaikan pendidikan magister di bidang Manajemen Pembangunan Kota Program Pascasarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Seluruh proses penelitian dan penulisan ini dapat terjadi hanya karena ketetapan dan ridho Allah SWT semata. Puji syukur ke hadirat-Nya atas segala kenikmatan dan anugrah yang telah dicurahkan sampai dengan saat ini sehingga semua kerikil dan rintangan teratasi.
Proses penelitian ini merupakan sebuah jalan panjang yang ditempuh selama 8 bulan antara Agustus 2008 sampai dengan April 2009. Dalam rentang waktu tersebut, penulis menjumpai banyak pihak yang berperan membantu untuk menyelesaikan penelitian ini. Penulis dapat diibaratkan hanyalah sebuah noktah di dalam sebuah kosmos apabila tanpa peran mereka yang membanggakan. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, penulis ingin menyampaikan terimakasih dari lubuk hati paling dalam kepada:
1. Yth keluarga besar saya - orang tua, mertua, adik, ipar, sepupu serta keluarga yang lain. Terimakasih tak terhingga atas kasih sayang, perhatian dan doa-doanya. Saya bangga dan bahagia menjadi bagian keluarga ini.
2. Yth Bapak Ir. Ispurwono Soemarno, MArch, PhD dan Bapak Putu Gde Ariastita, ST, MT. Terimakasih dari hati terdalam atas kesediaan meluangkan waktu untuk membaca dengan teliti berkas penelitian serta mencermati, mengkritisi, dan memberi masukan pada proses penelitian dan penyusunan tesis ini sebagai pembimbing.
3. Yth Ibu Dr Ir Rima Dewi Supriharjo, MIP, Bapak Ir Sardjito, MT, dan Ibu Dr Eng Ir Sri Nastiti NE, MT. Terimakasih atas kesediaan untuk menguji dan mengkritisi guna kesempurnaan tesis ini sebagai penguji. Disamping itu juga disampaikan terimakasih kepada Yth Ibu Ima Defiana ST, MT yang bersedia sebagai penguji pada sidang proposal dan preview tesis pertama.
4. Yth Dr. Ir. Haryo Sulistyarso. Terimakasih atas wawasan dan wacananya selama masa perkuliahan selaku dosen wali.
5. Yth Ir. Muhammad Faqih MSA, PhD. Terimakasih atas pengaturan sistem selama masa perkuliahan selaku Kaprodi Pascasarjana Arsitektur
6. Yth seluruh dosen Arsitektur dan Manajemen Pembangunan Kota. Terimakasih atas ruang dan kesempatan untuk mengecap dan membentuk atmosfir akademis. Tak lupa terucap terimakasih kepada para staf dan karyawan di kedua jurusan tersebut untuk mewujudkan atmosfir akademis tersebut.
7. Yth seluruh dosen, staf, dan peneliti di Laboratorium Perumahan dan Permukiman Jurusan Arsitektur ITS. Terimakasih yang tulus atas dukungan materi, sarana, prasarana, dan waktu hingga terselesaikannya penelitian ini. Disamping itu juga terimakasih yang mendalam untuk Bapak Ir. Hasian Siregar, MT selaku Direksi CV Etika Prana. Terimakasih atas kesediaannya mengeluarkan surat rekomendasi saat pendaftaran
kuliah ini.
8. Yth seluruh responden dan stakeholder yang berpengaruh dalam penelitian ini. Masyarakat Kelurahan Sukolilo, para Ketua RT dan RW, Ketua BKM, Pak Lurah Sukolilo dan staf, Pelaksana Teknis NUSSP, Sub dan Dinas Permukiman Tata Kota Surabaya, Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. Terimakasih atas sumbangan data, opini dan pendapatnya sehingga penulis dapat memenuhi kecukupan data pada penelitian ini. Penulis memperoleh kesempatan yang membanggakan dalam meneliti partisipasi masyarakat di wilayah ini.
9. Yth Departemen Pendidikan Nasional melalui Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri. Dimana memberikan kesempatan pembiayaan Program Beasiswa Unggulan guna menyelesaikan pendidikan pada Program Pascasarjana Arsitektur bidang Manajemen Pembangunan Kota, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Berdasarkan DIPA Sekretariat
Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Periode Anggaran September 2007 sampai Pebruari 2009).
10. Yth Ema Umilia, ST. Terimakasih yang tak terhingga atas bantuannya untuk menyederhanakan bahasa penelitian yang rumit dan berbeda akibat latar belakang yang telah terbentuk sebelumnya.
11. Yth Teman-teman MPK angkatan 20007, baik penerima maupun tidak penerima Beasiswa Unggulan Depdiknas (Batch 3). Widya, Sukma, Son, Dee, Alies, Yayak, Erika, Pak Kunc, Ageng, Arief, Pak Sad, Pak Cam, Pak Fajar, Unik, Nining, Rutjah, Nopie, Arofah, dan Reeta. Terimakasih atas suasana, semangat, kekerabatan, dan segala memori yang membekas selama bersama melalui proses ini. Semoga ilmu yang diperoleh memberi manfaat bagi kehidupan.
12. Terimakasih tak terhingga buat segala sesuatu yang telah dan akan menjadi inspirasi serta warna dalam kehidupan penulis.
13. Ungkapan terakhir adalah terimakasih yang tak terhingga serta hormat mendalam bagi seseorang yang selama hampir dua pertiga hidupku selalu berdiri disampingku. Yth suamiku, Soeyono. Terimakasih atas segala pengertian dan toleransi yang mendalam atas segala kegiatan dan kesibukanku selama ini. Akan menjadi lebih berarti beriringan dengan dengan dirimu. Juga ungkapan sayang tak terhingga buat kedua buah hati kami, Dadan Giri Prayudha (alm) dan Tika Arining Wardhani (alm). Terimakasih telah bersedia mampir walau sebentar guna menggoreskan kuas warna pelangi kehidupan.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penulis hanyalah sebuah noktah yang jauh dari kesempurnaan pada sebuah sistem. Demikian juga yang terjadi pada tesis ini yaitu jauh dari kesempurnaan yang berjalan beriringan sesuai dengan ketidaksempurnaan penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik serta saran guna menyempurnakan tesis ini.
Akhirnya, segala kekurangan dan ketidaksempurnaan proses serta hasil penelitian ini adalah tanggung jawab penulis. Namun apabila dikemudian hari ditemukan sebuah kebenaran dalam tesis ini hanya semata ridho Allah SWT sang Maha Sempurna. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kehidupan dan penghidupan umat manusia. Terimakasih.
Surabaya, April 2009
Penulis
Andarita Rolalisasi
3207 205 707
Subscribe to:
Posts (Atom)